Dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah eufemisme. Wikipedia mencatat, eufemisme adalah penghalusan makna kata yang dianggap tabu oleh masyarakat. Eufemisme digunakan untuk menggantikan atau menutupi kata dan ungkapan lain yang dianggap tabu, kasar, dan tidak pantas.
Sementara itu, Achmad San dalam buku ‘Dikuasai Kata-kata’ (Diva Press, 2021) mengurai penjelasan Gorys Keraf, bahwa secara etimologis kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani, euphemizein, yang berarti mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik.
Eufemisme merupakan ungkapan kebahasaan yang bertujuan untuk memperhalus sebuah keadaan sehingga apa yang ditangkap oleh pendengar tidak sama dengan keadaan aslinya. Eufemisme jamak digunakan elite politik untuk memperhalus maksud sehingga publik, katakanlah, bisa menaruh simpati.
Dalam situasi pandemi corona ini, pemerintah awalnya juga sempat menutup-nutupi persebaran kasus. Pemerintah Provinsi Jawa Timur, misalnya. Sang Gubernur, Maret lalu, mengeluarkan bahasa-bahasa yang tampak halus di kulit luarnya, tetapi berbahaya sekali isinya: “Jadi, ada kekhawatiran dari kami. Saya tidak ingin ada pengasingan daerah. Saya tidak mau terjadi kekhawatiran. Jadi saya minta masyarakat jangan panik,” kata Khofifah Indar Parawansa di Gedung Negara Grahadi kala itu (18/3/2020). “Mari kita jaga bersama secara psikologis. Jadi, saya minta tolong teman-teman untuk tetap bisa menjaga suasana agar tidak panik,” tuturnya sekali lagi.
Menurut Achmad San, penggunaan frasa ‘masyarakat jangan panik atau agar tidak panik’, contohnya, adalah penghalusan, malah bisa dibilang pengaburan fakta, dari ‘pemerintah yang tidak transparan’. Sebab, saat itu, tiba-tiba saja di Jawa Timur sudah ada delapan orang spesimen yang terkonfirmasi positif dan satu di antaranya meninggal.
Gubernur pun seolah “tidak siap” menghadapi fakta demikian dan enggan membuka data. Eufemisme dalam konteks ini juga dimaksudkan untuk menjaga nama baik provinsi (sekaligus gubernur). ‘Mari kita jaga bersama secara psikologis’ adalah contoh lain dari penghalusan untuk tidak mengatakan ‘ketakutan warga’.
Ungkapan-ungkapan tersebut hanya dapat dibongkar lewat linguistik kritis. Sebab, menurut David Crystal (1991), linguistik kritis dapat mengungkap relasi kuasa yang tersembunyi dan proses-proses ideologi yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulis. Linguistik kritis tidak hanya ingin menjawab “apa” dan “bagaimana”, tetapi juga “mengapa” dan “bagaimana” bahasa diproduksi dan direproduksi.
Eufemisme, sebagai salah satu entitas majas, tak cukup paripurna jika hanya diterjemahkan secara leksikal. Metafora pun setali tiga uang. Sebagai majas pula, metafora mesti dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, lebih mendalam, yang dalam kajian termutakhir dimasukkan kategori Analisis Wacana Kritis (AWK).
Studi AWK menjadiikan bahasa “naik kelas” dari sekadar pandangan linguistik tradisional yang menilik teks-teks dari permukaan. Teun van Dijk, Norman Fairclough, dan R. Wodak adalah beberapa tokoh yang merumuskan dan meresmikan metode ini dalam sebuah simposium di Amsterdam, Belanda, pada 1991.
Sejak saat itu, metode AWK bisa digunakan dalam penelitian ilmu sosial dan budaya, termasuk bahasa. AWK “disahkan” menyigi makna di balik bahasa, lisan ataupun tulisan. Studi AWK juga begitu dekat dengan politik. Sebab, memaknai bahasa harus pula menengok siapa yang memproduksi dan dalam konteks apa bahasa diproduksi.
Achmad San berpendapat bahwa metafora adalah satu di antara sekian alat, di samping eufemisme tadi, yang sengaja dijadikan seseorang, katakanlah demagog politik, dalam rangka perang wacana. Singkatnya, metafora adalah hasil konstruksi. Guru Besar Ilmu Wacana Universitas Negeri Malang, Anang Santoso, dalam bukunya, ‘Bahasa Politik Pasca Orde Baru’ (2003), telah menemukan bentuk-bentuk metafora yang dijadikan perang wacana antar-elite pada masa Orde Baru.
Frasa-frasa seperti ‘sarang-sarang KKN, rezim bercakar tajam, membidik rakyat, ICMI tidak dilibas’, dan ‘kita ini sekarang berdiri di atas rumah yang telah runtuh’ adalah pendayagunaan metafora yang memunculkan kesan sarkasme, juga dapat menimbulkan impresi hiperbolis dan sindiran. Pada era Orde Baru, gesekan politik memang kuat. Salah satu penyebabnya, tentu saja, gaya kepemimpinan sang presiden yang otoriter. Lihatlah, misalnya, frasa ‘rezim bercakar tajam’ yang merujuk pada gaya kepemimpinan presiden kala itu.
Dalam buku ini, penulis yang pernah menamatkan S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang pada 2013, juga membahas tentang bahasa, budaya, dan pola sikap. Menurutnya, bahasa yang digunakan oleh seseorang bisa menunjukkan siapa orang itu. Bahasa yang dimiliki oleh suatu suku atau masyarakat tertentu juga hampir pasti menjadi representasi suku atau masyarakat itu sendiri dalam pelbagai urusan kehidupan yang mengiringi. Dalam bahasa Jawa, dikenal istilah ‘ajining diri gumantung ana ing lathi’, artinya harga diri seseorang terlihat dari tutur katanya.
Menurut saya, buku kumpulan esai tentang kebahasaan ini sangat menarik dibaca dan dijadikan sebagai bahan renungan bagi para pembaca berbagai kalangan, terlebih mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan seperti para guru dan dosen.
***
*Penulis lepas mukim di Kebumen.