The Raid, Sebelum Iblis Menjemput, Janji Joni, Ayat Ayat Cinta, dan Pengabdi Setan. Inilah judul-judul ternama yang muncul saat remaja mendengar kalimat “Film Indonesia”. Tetapi, apakah para remaja juga sudah mengenal sejarah sinema di Indonesia sebelumnya? Mulai dari sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulai apresiasi seni ini.
Pada umumnya, jika ditanyakan mengenai industri perfilman secara dasar, remaja Indonesia asal Jakarta atas nama Bhisma Satria, Aira Katyana, dan juga Rafi Putra memiliki berbagai pendapat. Tidak salah lagi, ketiga narasumber yang telah diwawancara ini memiliki kesamaan julukan, yaitu “Film Enthusiast”. Mereka menyatakan, bahwa perfilman adalah bagian dari industri kreatif yang "didalam nya juga mencakup seni, filosofi, dan manusia itu sendiri", kata Aira.
Serta, industri perfilman juga merupakan potensi yang "sangat patut untuk dikembangkan" kata Bhisma, ditambahkan, "sangat menarik dan luar biasa" kata Rafi. Remaja di era ini sedang menyaksikan zaman keemasan sinema atau “The Golden Age of Cinema”, kata GenerationT Asia — rupanya, itu tidak hanya terjadi di Hollywood, Bollywood, atau Hallyuwood.
Dengan populasi 272 juta jiwa yang tersebar di 17.500 pulau, Indonesia dengan cepat menjadi salah satu pasar film terbesar di Asia. Mengulik secara singkat sejarahnya, pada tahun 1950, Usmar Ismail yang dikenal sebagai Bapak Film Indonesia, mendirikan PERFINI (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Di saat yang sama itu juga, proses produksi film nasional ‘Darah dan Doa’ dan ‘The Long March of Siliwangi’ mulai berjalan, dengan menggunakan modal nasional, tenaga kerja nasional sebagai kru, serta bintang film dan sutradara asli Indonesia.
Dari pendapat Invest Indonesia, Industri perfilman Indonesia sempat mengalami kondisi naik-turun, bahkan sempat mengalami titik terendah pada dekade 1990-an. Untungnya memasuki tahun 2000, geliat perfilman Indonesia mulai menanjak perlahan. Dengan salah satu film drama yang mengejutkan, “Ada Apa Dengan Cinta” bersama peran utama Diansatro Wardoyo dan Nicholas Saputra.
Hebatnya, peran bioskop, telah berkontribusi atas 90 persen sumber pendapatan distribusi lm Indonesia. Film-film internasional dan lokal di Indonesia mendapatkan pemasukan yang besar. “Avengers: Infinity War” meraup lebih dari US$25 juta awal tahun 2018.
Tetapi, tidak kalah juga, produksi dalam negeri juga tentu booming. Drama romansa oleh Falcon Pictures, “Dilan 1990”, meraup pendapatan kotor sekitar US$16,6 juta, serta film horor karya Joko Anwar, “Pengabdi Setan”, yang diproduksi bersama oleh Rapi Films dan CJ E&M Korea Selatan, menghabiskan sekitar US$11 juta.
Ketika rekor positif ini terus dipertahankan, maka ini menjadi pertanda baik. Industri perfilman Indonesia terus tumbuh, sineas muda mulai bermunculan, dan para penonton terpuaskan dengan karya yang mereka tonton. Walau dahulunya stereotype film Indonesia seperti yang dikatakan remaja 19 tahun, Bhisma, “sebelum-sebelumnya kan film Indonesia yang paling banyak disukai masyarakat itu kalo ga drama ya horror.” Karena banyak kritik seperti ini, para sineas juga berusaha keras memantapkan genre film yang akhirnya ternama seperti “Laskar Pelangi”, “The Raid”, “Habibie & Ainun”, hingga “Gundala” atau luasnya Jagat Sinema Bumilangit oleh Joko Anwar yang bergenre superhero.
Namun sayangnya, bahkan Badan Perfilman Indonesia menyampaikan hanya ada 1.600 layar di Indonesia, atau hanya 0,4 layar per 100.000 orang. dibandingkan dengan 14 layar per 100.000 orang di AS dan 1,8 di Cina. Akibatnya, hanya 13% orang Indonesia yang memiliki bioskop di lingkungan mereka, yang berarti jauh lebih sulit bagi mereka untuk menonton rilis baru daripada hampir semua negara lain di Asia. Karena kurangnya layar di Indonesia dan konsentrasi bioskop di kota-kota besar, banyak permintaan besar atau demand yang saat ini tidak dilayani oleh bioskop komersial.
Dari data BPI (Badan Perfilman Indonesia), Jumlah film yang diproduksi di bioskop Indonesia dalam beberapa tahun terakhir meningkat menjadi 150 film yang diproduksi di Indonesia setiap tahun sekarang. Selain film-film yang masuk box office, ratusan film panjang, film pendek, dan film dokumenter lainnya dibuat dan diputar di tempat-tempat pemutaran alternatif.
Belum lagi, masalah lain juga muncul semenjak pandemi Maret 2020, dimana bioskop telah ditutup sementara yang menyebabkan sineas berkumpul dan menuliskan surat terbuka kepada Presiden Indonesia perihal keluhan dan opininya demi kebaikan industri film di tanah air.
Kemudian, mengapa sebenarnya remaja perlu mendukung perfilman Indonesia kedepannya? Ketiga remaja pecinta film ini telah menyampaikan aspirasinya juga mengenai hal ini. “Karena industri perfilman saat ini merupakan salah satu industri yang paling diminati hampir di seluruh dunia. Industri perfilman di berbagai negara lainnya seperti Korea Selatan, China, dan Thailand, sudah membuktikan bahwa industri tersebut memiliki peran penting dalam memajukan negara. Sehingga kita juga harus mendukung dan mengembangkan industri perfilman demi membangun Indonesia ke arah yang lebih maju.”
Para remaja film enthusiast berharap kedepannya agar kelak muncul berbagai talenta yang kreatif, berani bereksperimen dan keluar dari zona nyaman. Pesan yang penting yang disampaikan adalah semoga perfilman Indonesia dapat berkembang dan memajukan bangsa.