Dalam buku Iktiraf Sekuntum Melati, lembar demi lembar adalah kedukaan. Dari lembaran satu ke lembaran berikutnya adalah rangkaian derita. Menyentuh dan memancing tangis. Yasmin, tokoh utama dalam novel ini, sungguh menjadi perempuan berselendang air mata.
Mashdar Zainal dalam buku Iktiraf Sekuntum Melati terbitan Salamadani Bandung 2012, telah berhasil mengaduk perasaan pembaca. Adegan demi adegan mengurai kepedihan yang dialami Yasmin. Dengan tokoh ‘aku’ membaca novel ini seakan membaca diri kita sendiri. Saya yang telah menghatamkan novel ini, berkali-kali dibuat tersengal, menahan napas kemudian menghembuskannya dengan kelegaan. Yasmin digambarkan menapaki hidup dengan penuh luka, namun tetap optimis dan semangat demi emak dan anaknya.
Dikisahkan, sewaktu Yasmin berusia enam tahun setiap hari Minggu selalu ikut emaknya ke hutan untuk mencari kayu bakar. Sementara gadis-gadis lain seusianya selalu diajak ke pesta, ke pasar malam, dan toko boneka. Sesampainya di hutan, emak dan Yasmin memunguti ranting-ranting dan batang kecil bekas para penebang liar, lalu memotongnya sepanjang satu meter dan mengumpulkannya, kemudian memikul tumpukan kayu itu sampai ke rumah dengan berjalan kaki.
Di samping pencari kayu bakar, emak Yasmin yang janda itu juga bekerja mencangkul di sawah para bos tani. Meski miskin harta, emak Yasmin tidak ingin Yasmin miskin ilmu. Oleh karena itu, di usia tujuh tahun, emak Yasmin menyekolahkan Yasmin ke sekolah dasar. Emak Yasmin mengupayakan agar Yasmin terus menamatkan sekolah dasarnya. Selain mencari kayu bakar dan mencangkul, emak Yasmin juga membawa daun jati saat mencari kayu ke hutan. Daun jati itu kemudian dibawa dan dijual ke pemilik beberapa warung untuk dijadikan bungkus tempe, atau bungkus nasi pecel.
Melihat usaha emaknya yang sedemikian rupa, Yasmin tidak tinggal diam. Tanpa sepengetahuan emaknya, sepulang sekolah ia keluyuran ke tempat sampah atau tegal-tegalan untuk mengumpulkan plastik atau besi-besi tua untuk dijual ke rombeng. Hasilnya lumayan untuk uang jajan saat sekolah. Sebab, Yasmin tidak pernah meminta uang jajan ke emaknya, kecuali jika emaknya yang lebih dulu memberinya. Saat teman-teman di sekolahnya menjilat es krim atau mengemut cokelat, Yasmin hanya menelan ludah.
Tak hanya sampai di situ, ketika Yasmin lulus SD. Ia bertekad untuk tidak meneruskan ke jenjang SMP, sebab tak ada biaya dan kasihan kepada emaknya yang pontang-panting mengupayakannya. Yasmin tidak tega. Kemudian, beberapa bulan setelahnya, lelaki bernama Jayus datang ke rumah Yasmin bermaksud melamar emak Yasmin. Yasmin tidak setuju, namun emak Yasmin keberatan jika lamaran ini ditolak. Sebab, ia berpikir siapa tahu Jayus bisa membantu biaya sekolah Yasmin. Awalnya, Jayus memang membantu, namun saat emak Yasmin keluar bekerja di sawah dan Yasmin tidak sekolah sebab sakit, Jayus menggedor kamar Yasmin dan memaksanya untuk memenuhi hasrat birahinya. Berkali-kali, hingga perut Yasmin membuncit.
Setelah lahir, bayi suci yang keluar dari rahim Yasmin itu diberi nama Tabah. Lantaran cobaan demi cobaan selama ini menimpanya, dan semoga diberi ketabahan. Tabah semakin besar, Yasmin tidak ingin menggantung hidup diri dan anaknya kepada Jayus, maka akhirnya Yasmin bekerja ke Malaysia berkat bantuan temannya. Sesaat Yasmin pulang dari Malaysia karena mau dinikahi majikannya, ia bertemu dengan pemuda gagah, cakep dan sopan, namanya Raihan. Keduanya ngobrol panjang lebar. Kemudian, berlanjut Yasmin datang ke rumah Raihan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan rumah Ainin, kakak perempuan Raihan. Lantas kisah pun terus mengalir hingga duka berganti duka Yasmin hadapi, namun ia tetap tabah dan optimis.