Ulasan Buku Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir: Menguak Budaya yang Terkadang Bertolak Belakang

Hernawan | Sigit Candra Lesmana
Ulasan Buku Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir: Menguak Budaya yang Terkadang Bertolak Belakang
Buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (DocPribadi/sigitlesmana)

Sebagai manusia, tentu sudah paham betul bahwa kita diciptakan berbeda-beda. Jangankan dengan orang dari negara luar, dengan saudara kandung kita sendiri pasti juga memiliki perbedaan. Entah itu perbedaan fisik, karakter, atau keduanya. Perbedaan inilah yang kemudian melahirkan kebudayaan yang berbeda pula antar suku bangsa.

Perbedaan tersebut terkadang melahirkan kesalahpahaman yang tak jarang berakhir menjadi sebuah konflik. Kunci untuk menghindari konflik adalah dengan saling memahami satu sama lain. Jika kalian ingin  memahami mengapa manusia memiliki kebudayaan yang beragam, mungkin buku karya Marvin Harris yang berjudul “Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir” ini bisa menjadi salah satu referensi yang menarik.

Marvin Harris merupakan seorang antropolog Amerika yang berpengaruh terhadap perkembangan paham “materialisme kultural”. Dalam bukunya ini, Marvin mencoba untuk memberi penjelasan ilmiah terhadap kebudayaan masyarakat yang bisa saja saling bertolak belakang antara satu dan lainnya.

Contohnya mengapa masyarakat Muslim dan Yahudi mengharamkan babi. Sedangkan bagi masyarakat di belahan benua lain justru babi merupakan sumber kehidupan yang tak tergantikan? Buku ini juga menjelaskan mengapa ketua suku Indian sengaja membakar harta bendanya hanya untuk menyombongkan diri? Mengapa pemeluk Hindu di India mengangungkan sapi? Mengapa sihir yang dahulu dianggap sesat saat ini malah muncul sebagai bagian dari kebudayaan populer di Eropa, bahkan dunia? Dan banyak hal lainnya.

Pertenyaan-pertanyaan seperti itulah yang coba Marvin jelaskan dengan pendekatan ilmiah. Dengan membaca buku ini, kita akan sedikit memahami apa yang menjadi latar belakang dari kebiasaan serta kebudayaan berbagai peradaban di dunia.

Selain tentunya memahami kondisi sosial masyarakatnya, melalui penggambaran melalui kata-kata yang tersusun dalam buku ini, pikiran kita akan diajak untuk berkeliling ke tempat-tempat yang menjadi pusat peradaban dari masyarakat yang sedang dibahas.

Buku ini tidak terlalu tebal, hanya 262 halaman. Namun, buku ini memang agak berat untuk dibaca karena merupakan buku non-fiksi. Meski begitu, kalian yang kelak ingin menjadi seorang antropolog sangat dianjurkan untuk membaca buku ini. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak