Sejak munculnya wabah COVID-19, masyarakat awam mulai mengetahui teknik deteksi yang disebut PCR (Polimerase Chain Reaction). Dalam dunia penelitian, kesehatan, dan forensik, PCR telah lama digunakan untuk berbagai aplikasi dan kebutuhan.
PCR digagas oleh seorang ahli biokimia bernama Kary Mullis pada tahun 1983. Bersama dengan ahli biokimia lainnya yaitu Michael Smith, Mullis menerima nobel untuk kontribusinya dalam pengembangan metode kimia berbasis DNA.
PCR yang kadang disebut pula fotokopi molekuler, adalah sebuah metode untuk melipatgandakan keseluruhan atau sebagian urutan DNA dari sampel yang jumlahnya sangat sedikit menjadi jutaan, bahkan triliunan kopi, untuk kemudian dapat diteliti lebih lanjut. PCR sangat penting digunakan dalam berbagai prosedur untuk uji materi genetik dan penelitian, termasuk analisis DNA dari sampel yang sudah lama dan identifikasi materi infeksius.
Beberapa komponen diperlukan untuk melakukan PCR, di antaranya: sampel DNA, primer, DNA polimerase, dan nukloetida. Sampel DNA mengandung urutan DNA yang akan diperbanyak. Primer adalah urutan DNA pendek yang dapat mengenali urutan DNA target yang akan diperbanyak. DNA polimerase adalah enzim yang berfungsi membentuk DNA baru. Polimerase akan memulai membentuk DNA baru ketika primer mengenali urutan DNA target. Nukleotida dalam PCR merupakan molekul penyusun untai DNA baru tersebut.
Proses enzimatik dan pembentukan DNA baru melalui PCR membutuhkan perubahan suhu dan pengulangan siklus. Siklus untuk reaksi PCR bergantung pada panjang DNA yang akan dikopi, biasanya memakan waktu 2 hingga 4 jam. Alat yang digunakan untuk melakukan PCR dinamakan thermocycler. Selanjutnya, kopi DNA dapat digunakan untuk analisis lanjutan seperti sekuensing, fingerprint untuk profiling DNA (misalnya dalam forensik atau tes keturunan), diagnosis dan monitoring penyakit dan patogen, kloning dan manipulasi gen, dan lain-lain.
Dengan berbagai kebutuhan untuk target deteksi, teknik PCR pun berkembang untuk melipatgandakan sampel yang berupa RNA. Metode ini dinamakan RT-PCR (Reverse Transcription PCR). RT-PCR mengombinasikan transkripsi dari RNA menjadi cDNA dan kemudian melipatgandakannya menggunakan reaksi PCR.
Transkripsi secara alami terjadi dalam tubuh manusia untuk menyalin urutan segmen dari DNA menjadi mRNA (mesengger RNA). Secara khusus, mRNA membawa informasi gen dari DNA untuk diterjemahkan menjadi asam amino-asam amino yang membentuk protein. Pada reaksi RT-PCR, proses ini di balik dari mRNA menjadi DNA (dalam RT-PCR disebut cDNA atau complementary DNA) sehingga prosesnya disebut 'reverse' transcription.
Di masa sekarang, inovasi teknologi PCR lainnya berupa qRT-PCR (quantitative real-time PCR) menjadi sangat penting dalam penelitian dan diagnosis klinis, termasuk untuk COVID-19. qRT-PCR digunakan untuk mengukur ekspresi suatu gen, mendeteksi penyakit infeksius, kanker, dan abnormalitas genetik, mendeteksi keamanan produk pangan, patogen pada tanaman, organisme hasil modifikasi genetik, dan lain-lain.
qRT-PCR mampu mendeteksi secara kuantitatif jumlah DNA selama reaksi berlangsung. Hal ini dikarenakan adanya materi fluoresens yang ditambahkan untuk labeling produk PCR sehingga mengeluarkan sinyal yang dapat dideteksi oleh mesin qRT-PCR. Data yang terbaca dalam qRT-PCR adalah Ct value, yaitu jumlah siklus yang diperlukan oleh sinyal fluoresens untuk melewati threshold. Semakin besar jumlah DNA target pada sampel, maka semakin cepat pula fluoresens melewati threshold sehingga Ct value-nya juga semakin kecil.
Keberadaan teknologi PCR sangat membantu kegiatan penelitian maupun klinis untuk kemajuan pengetahuan dan pengembangan inovasi, yang bertujuan memberikan manfaat dan solusi untuk kehidupan manusia.
Sumber: genome.gov, ncbi.nlm.nih.gov, en.wikipedia.org, nature.com, future-science.com