Ada sebuah kisah menarik (yang mungkin dianggap tak lazim) yang saya temukan dalam buku berjudul Tuhan yang Kesepian karya Tasirun Sulaiman (Bunyan, 2013). Kisah tentang perempuan bernama Lazimah. Dia mungkin tak lazim untuk disebut. Dia hanya orang pinggiran yang tersisih dari pikuk kehidupan. Dia hanya seorang janda yang ditinggal suaminya. Dia hanyalah seorang perempuan yang harus menukar beban hidupnya dengan memecahkan batu demi putrinya.
Lazimah memang nasibnya tak lazim. Juga hidupnya tidak lazim untuk dilihat oleh bangsa di sebuah negara yang presidennya bisa dengan mudah membeli pesawat pribadi seharga 21 miliar. Toilet dan WC legislatifnya bisa seharga 6 miliar. Gorden dan mebel istana presidennya bisa 2 miliar. Juga tidak lazim hidupnya yang jauh dari sehat karena sebuah proyek untuk meningkatkan olahraga yang tidak ada manfaatnya bagi kebaikan orang banyak memboroskan 2,5 triliun anggaran. Lalu, hanya menjadi jarahan.
Lazimah memang tidak lazim merengkuh hidup dengan caranya pada saat negerinya dikenal sebagai negeri kaya raya. Negeri orang-orang dengan rekening gendut serupa seekor babi. Seorang jenderal bisa mengemplang dengan mudah 100 miliar. Dan, seorang bankir dengan mudah menggondol 6,7 triliun. Tidak lazim. Memang sangat tidak lazim.
Lazimah tak mampu menyekolahkan anaknya. Untuk makan, dia harus menghancurkan batu-batu. Seharian dia hanya mampu mendapatkan penghasilan dari menjual dua ember. Berapa kira-kira rupiah yang dapat digenggam? Lalu, bagaimana dia bisa mencukupi hidupnya dan hidup putrinya? Nesa, anaknya yang masih berusia 7 tahun, memilih tak bersekolah. Ajaibnya, Nesa yang masih kanak-kanak itu justru merasa kasihan dengan Mak atau ibunya. Dia bekerja apa saja untuk membantu Mak-nya. “Saya kasihan sama Mak, makanya saya nggak mau sekolah,” kata Nesa dalam sebuah wawancara pendek.
Akan tetapi, sadarkah kita kalau hidup tidak semua gelap. Hidup yang terlihat pekat dan gulita juga masih memiliki secercah cahaya melintas. Dan, Lazimah juga Nesa menautkan diri di tali secercah itu. Karenanya, dia masih punya ketabahan dan sedikit mimpi. Bahkan, Nesa beruntung karena dia masih bisa mengaji. Mengaji di sebuah gubuk dengan cara “an-in-un, ban-bin-bun”. Mengaji dengan cara lama, cara Baghdady.
Kisah Nesa dan ibunya yang dituliskan oleh Tasirun Sulaiman dengan bahasa begitu menyentuh dalam buku "Tuhan yang Kesepian" meninggalkan renungan dan pelajaran berharga bagi para pembaca. Buku berisi kumpulan opini beragam tema ini, menurut saya, cukup menarik dan layak dijadikan bacaan penggugah jiwa. Selamat membaca.