Sebagaimana jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, Tuhan menghadirkan dua rasa yang saling berseberangan; suka-duka, susah-senang, atau kebahagiaan-penderitaan. Semua berkelit-kelindan menyertai kehidupan manusia yang sangat kompleks. Mustahil seseorang akan selalu hidup senang penuh tawa. Suatu saat kesedihan dan penderitaan juga akan dirasakannya.
Namun, Tungke’ dilahirkan ke dunia seolah memang akrab dengan penderitaan. Sejak lahir dia sudah dekat dengan suasana penderitaan hidup yang menyertai keluarganya. Ayahnya meninggal saat dia belum lahir karena sakit kolera. Saat umurnya masuk sepuluh tahun, ibunya menyusul karena penyakit muntaber. Kematian ibunya saat itu dirasakannya sebagai pukulan berat yang memang tak membuat tubuhnya terpelanting jauh, tapi remuk. Dia meraung tak ingin melepas jasad ibunya yang terbujur kaku.
Setelah itu, Tungke’ diambil tantenya. Diasuh layaknya anak sendiri karena tantenya belum menikah sampai usianya menginjak kepala lima. Namun, lagi-lagi kesedihan datang. Tantenya meninggal dan membuatnya benar-benar seorang tungke’ (tunggal dan sebatang kara). Pamannya, La Sahide, yang akhirnya mengambil Tungke’, setelah sebelumnya diasuh oleh Rahmat yang masih gurunya.
Bersama pamannya, Tungke’ memulai hidup di kampung Bugis Bolalimappulo di lereng Gunung Lamangisi. Kampung transmigrasi tersebut hanya dihuni oleh lima puluh Kepala Keluarga. Jauh dari keramaian, kampung tersebut tak ubahnya hutan rimba yang gelap gulita di saat malam hari. Pada setiap rumah hanya diterangi pelita. Berbeda dengan desa kecamatan Bilokka, yang sebagian penduduknya sudah memakai lampu.
Kisah hidup Tungke’ dengan segala balada kehidupannya dikisahkan S. Gegge Mappangewa dalam novel Sayat-Sayat Sunyi. Novel ini begitu kental dengan nuansa budaya Bugis. Dari model rumah adat, hingga tradisi yang menyertai kehidupan penduduk digambarkan dengan begitu memikat. Pun kisah cinta anak desa antara Tungke’ dan Malik.
Kesedihan dan penderitaan Tungke’ menjadi intisari novel 344 halaman yang penuh kesahduan ini. Pembaca tak akan menyangka bahwa kesedihan akan menimpa perempuan malang nan sebatang kara itu. Sejak kecil Tungke’ sudah akrab dengan penderitaan dan luka, kini setelah kebahagiaan datang karena Malik menyuntingnya sebagai istri, kesedihan kembali datang menghampirinya. (*)