Arti, Nilai, dan Martabat Perempuan dalam Novel Membeli Ibu

Hernawan | Thomas Utomo
Arti, Nilai, dan Martabat Perempuan dalam Novel Membeli Ibu
Membeli Ibu (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Perempuan kerap (kalau tidak boleh disebut: selalu) dipandang makhluk lemah. Di sisi lain, perempuan kerap dianggap sebagai konco wingking, diharapkan selalu berperan dalam senyap, berkiprah tanpa kelihatan.

Perempuan dianggap pula sebagai warga kelas dua, sebab lelakilah warga terutama. Sebab lelaki adalah pemimpin, sedang perempuan adalah pihak yang harus dipimpin.

Dalam bahasa Jawa, perempuan disebut sebagai wanita, akronim dari wani ditata (harus mau diatur). Konon, demikianlah ‘kodrat’ perempuan.

Membaca novel remaja berjudul Membeli Ibu karya Riawani Elyta (FYI, novel ini memenangkan Juara I Kompetisi Menulis Indiva 2020), mempertebal kembali kesadaran akan purbasangka miris tersebut.  

Adalah Fai, gadis yang baru lulus sekolah menengah, terpaksa menerima vonis bahwa dia tidak akan punya keturunan. Sebab, ada ‘alien’ yang tumbuh tanpa izin tanpa permisi di dalam rahim. Membuat liang peranakannya, harus diangkat.

"Segumpal miom terdeteksi telah bersemayam di rahimku sejak SMA. Lalu tumbuh dengan cepat dan berkembang biak. Hingga saat berhasil dikeluarkan di meja operasi minggu lalu, jumlahnya ternyata telah berkembang menjadi empat gumpalan. Dan sang miom tidak keluar sendirian. Milikku yang paling berharga pun harus aku relakan. Rahimku.” (halaman 16).

Kondisi itu memaksa Fai bertekuk lutut di hadapan nasib (atau mungkin takdir?). Dia harus mengambil kuliah di universitas terdekat. Dia harus banyak beristirahat dan mengisi waktu di rumah. Dia harus menerima kenyataan: pemuda yang ditaksir (dan tampak menaksirnya juga) pergi lantaran kondisi tanpa rahim yang dialami.

Pendek kata, Fai harus merevisi ulang mimpi-mimpinya.Namun, di tengah kepungan rasa terpuruk, dalam diri Fai terbit semangat mendapati salah satu paviliun ‘terbengkalai’ di rumah keluarganya. Sedianya, rumah panggung berbahan kayu itu akan dikelola sang abang menjadi semacam rumah Alquran. Namun, abang Fai menimba ilmu di tempat jauh.

Fai berinisiatif memanfaatkan paviliun tersebut menjadi rumah baca, dinamai Taman Baca Sakinah (dilabeli nama Sakinah, mungkin guna menenangkan-menenteramkan gejolak batin gundah Fai).

Dengan mengelola taman baca tersebut, semangat hidup Fai yang redup, bergelora kembali. Aktivitas literasi di taman baca lambat laun, membuatnya, sadar maupun tidak, menjadi ibu bagi para pengunjung. Fai melayani, mengasuh, mengayomi, pun menolong ragam bocah juga remaja yang datang, termasuk Ifa.

Ifa, adalah juga tokoh utama novel remaja ini. Anak tanpa ayah tanpa bunda ini, mengalami disleksia. Dia menumpang tinggal di rumah bibi, setelah ibunya merantau sebagai buruh migran, sedang sang ayah pergi ditelan ujung pandang. Karena faktor ekonomi, Ifa kemudian dititipkan ke panti asuhan.

Sebagai pengidap disleksia, Ifa dibelit banyak kesukaran: susah konsentrasi, tidak kenal jarak, waktu, arah mata angin. Macam-macam label buruk dilekatkan orang kepadanya: pemalas, bodoh, biang kerok, pembuat onar.

Satu hal aneh yang getol diupayakan Ifa adalah dia gigih bekerja, apapun, semata-mata demi menghasilkan uang untuk membeli ibu. Ya, membeli ibu! Perihal ini menjadi salah satu teka-teki menarik yang menggeret laju cerita. 

Tokoh perempuan ketiga, ialah tokoh sampingan, adalah Jamila. Dia berlatar belakang keluarga sederhana. Pendidikannya pun tidak tinggi. Namun, keterbatasan ekonomi dan keminiman akses pendidikan, tidak membuatnya duduk diam, berayun kaki. Dia rajin membuat kue-kue dan ragam panganan lain. Dia jual, dititip-titipkan ke mana-mana.

Dia juga kerap menyelakan waktu datang ke Taman Baca Sakinah untuk bersih-bersih.

Dengan keterbatasan juga keluguan Ifa maupun Jamila, keduanya menjadi cermin jernih untuk Fai berkaca. Untuk Fai menemukan kembali bentuk kasih sayang lain yang Allah anugerahkan kepada dia.

Dengan bercermin kepada dua perempuan tersebut, Fai kian bersemangat melancarkan kemanfaatan.

Membaca novel Membeli Ibu adalah menghikmati semangat, gelora, dan kegigihan perempuan. Apapun, di manapun, aral selalu menghadang. Tinggal bagaimana menyikapinya, hendak berlutut atau bahkan sujud di hadirat nasib?

Atau bangkit kendati tersaruk-saruk; mengoptimalkan ikhtiar hingga menemui hasil terbaik yang layak dinamai takdir?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak