Cinta adalah anugerah yang diberikan kepada para hamba-Nya. Setiap orang berhak untuk memiliki rasa tersebut. Entah dia orang kaya, miskin, raja, rakyat kecil, bahkan seorang marbut masjid seperti Parman dalam buku kumpulan cerpen berjudul Cinta, Ya Cinta.
Buku ini memuat sejumlah cerita pendek inspiratif yang memenangi lomba cerita pendek yang diadakan Forum Lingkar Pena dalam rangka Milad ke-5. Cerpen-cerpen dalam buku ini terpilih sebagai pemenang karena memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri.
Cinta, Ya Cinta adalah cerpen karya Zaenal Radar T., yang terpilih sebagai juara pertama. Dalam cerpen ini, penulis berkisah tentang seorang Parman, pemuda kampung yang merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Parman adalah seorang yatim piatu sejak kecil. Di Jakarta ia tinggal bersama pamannya yang mengasuhnya sejak kecil.
Namun, lama-lama Parman merasa tidak enak selalu numpang hidup di rumah pamannya. Ia ingin hidup mandiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain, sekalipun pamannya sendiri. Parman tidak ingin membebani pamannya, apalagi pamannya sudah memiliki anak yang harus dibiayai. Lebih-lebih Parman merasa tidak enak sama Mpok Saodah, istri pamannya yang menganggapnya sebagai babu di rumahnya.
Parman akhirnya pamit keluar dari rumah tersebut dan berusaha mencari tempat kontrakan yang bisa dan layak ditempati. Namun, Parman “tersesat” di sebuah masjid dan merasa betah di sana. Alasannya adalah karena tinggal di masjid tidak perlu bayar uang sewa, apalagi ia masih belum punya pekerjaan.
Pak Haji Sadelih, pengurus masjid tempat Parman bernaung, akhirnya meminta Parman untuk merawat masjid seperti menyapu, mengepel, dan pekerjaan lainnya. Intinya Parman diminta untuk merawat masjid dan menjaga kebersihannya.
Parman setuju dan mau dengan tawaran tersebut. Dia senang, meskipun harus jadi seorang marbut. Sudah cukup lama Parman menjadi bagian dari masjid yang selama ini menjadi tempatnya mengaji, salat, dan kegiatan lainnya. Sekarang Parman sudah menjadi pemuda yang matang dengan tampangnya yang juga lumayan tampan. Tak heran, jika Parman sering mendengar bisik-bisik dari jamaah atau anak-anak TPA seperti, “Ganteng-ganteng, kok, cuma jadi marbut?”.
Kedewasaan Parman membuatnya berpikir tentang pendamping hidup. Tapi, siapa yang mau menjadi suaminya yang hanya seorang marbut? Meskipun Haji Sadelih memiliki anak perempuan, rasanya tidak mungkin beliau menawarkan anaknya untuk dinikahi Parman. Hal itu cuma ada dalam mimpi dan mustahil akan menjadi kenyataan.
Cerpen-cerpen dalam buku ini juga menarik untuk dibaca seperti Terbanglah Wahai Ababilku karya Sinta Yudisia yang keluar sebagai juara kedua, Syair Angin Pohon Yang Liu karya Cempaka yang menjadi juara ketiga. Dan cerpen-cerpen lainnya yang juga tidak kalah menarik untuk dibaca karena sarat dengan hikmah yang menumbuhkan inspirasi.