Guru termasuk profesi mulia yang tak semua orang mampu menjalankannya. Guru adalah sosok yang jasanya sangat besar bagi kehidupan setiap orang. Tanpa kehadiran para guru di kehidupan kita, rasanya sulit bagi kita untuk mendapatkan beragam ilmu pengetahuan yang sangat kita butuhkan.
Membaca kisah para guru yang telah mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak-anak negeri ini, memang sangat menarik dan dapat menjadi renungan bersama. Renungan tentang pentingnya menghargai dan memuliakan para guru yang selama ini telah berkontribusi besar dalam kehidupan kita.
Buku berjudul “Tanpamu Kami Bukan Apa-Apa” karya Miyosi Ariefiansyah (terbitan Gramedia) mencoba merangkum kisah para guru inspiratif, para pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah buku yang layak dibaca dan resapi pesan-pesan mulia di baliknya.
Salah satu kisah menarik dalam buku ini dialami oleh Ibu Sani. Ia awalnya menjalani profesi sebagai guru dengan terpaksa. Bahkan sejak awal mendaftarkan diri untuk kuliah di bidang keguruan. Kedua orangtua Sani memang berprofesi sebagai guru, maka tak heran bila mereka menginginkan anaknya untuk mengikuti profesi yang sama.
Sejak kecil, Sani diajari nilai-nilai kehidupan yang begitu baik oleh kedua orangtuanya. Kejujuran, pengabdian, kedisiplinan, menjadi pribadi yang bermanfaat untuk orang lain, keuletan, kerja keras, dan kesederhanaan.
Namun, Sani tetap tak berminat mengikuti jejak orangtuanya menjadi guru. Ia memiliki ambisi tinggi untuk ukuran wanita. Ia ingin menjadi wanita muda yang memiliki karier cemerlang, kaya, cerdas, dan tentu saja banyak dikagumi orang.
Sani akhirnya berkuliah di jurusan keguruan, setelah pilihan pertamanya mendaftar di jurusan akuntansi tidak diterima. Singkat cerita, selepas kuliah, ia pun menjalani profesi sebagai seorang guru SD.
BACA JUGA: 5 Manfaat Jeruk Bali bagi Kesehatan, Mampu Mencegah Kanker!
Sebenarnya ia merasa tidak kesulitan menjalani profesi sebagai guru, tepatnya guru bidang studi matematika untuk kelas 4 sampai 6. Meski ia mengajar dengan setengah hati, namun murid-muridnya merasa bila ia adalah guru yang baik.
Hingga akhirnya, pola pikirnya pun berubah ketika Emi, salah satu teman sekolahnya menghubunginya. Emi adalah sahabat SMA-nya yang memutuskan ingin menjadi seorang pengajar. Emi bercerita tentang keputusannya resign dari pekerjaannya yang telah mapan, lalu memutuskan untuk menjadi seorang guru. Sebuah keputusan yang tentu membuat Sani kaget.
Pola pikir Sani pun akhirnya berubah. Ia mulai membuka hati, mengajar tidak hanya untuk mencari gaji, tetapi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat buat anak didik. Ia merasa, Allah telah “mengirim” salah satu sahabatnya, Emi, untuk mengubah pola pikirnya yang tidak logis, melakukan sesuatu hanya karena ingin dipandang orang.
Kisah-kisah lain tentang orang-orang yang memutuskan menjadi guru bisa disimak lebih lanjut dalam buku ini. Misalnya, kisah Bu Erika, yang merasa selalu apes karena setiap kali menjalani tes perekrutan pegawai baru di berbagai macam perusahaan selalu gagal. Lalu ia pun banting setir menjadi guru, setelah seorang kawan lama menawarinya untuk menjadi seorang guru bidang studi, menggantikan guru lama yang sedang cuti hamil.
Kisah para guru dalam buku ini menarik dijadikan sebagai bahan renungan bagi para pembaca, bahwa menjadi seorang guru bukanlah sesuatu hal yang harus disesalkan. Justru menjadi seorang guru itu adalah merupakan sebuah kemuliaan, asalkan dilandasi dengan niat yang benar.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS