Buku berjudul “Lampor” ini berisi enam belas cerita pendek (cerpen) pilihan Kompas 1994 silam. Buku ini ditulis oleh para penulis yang memiliki kepiawaian dalam bercerita. Tema cerpen dalam buku ini tentu saja beragam, sebagaimana latar belakang kehidupan para pengarangnya yang juga diwarnai keberagaman.
“Lampor” adalah salah satu cerpen karya Joni Ariadinata yang dimuat dalam buku ini. Berkisah tentang kehidupan rakyat miskin di tengah kepadatan kota besar. Dikisahkan sebuah keluarga miskin, terdiri dari ayah, ibu, dan ketiga anaknya yang memiliki watak yang saling bertolak belakang dan sederet persoalan kemiskinan yang membelit keluarga tersebut.
Mereka adalah salah satu keluarga yang hidup di tengah masyarakat miskin di gubuk-gubuk yang letaknya dekat dengan Kali Comberan. Sebuah potret permukiman kumuh yang sangat kontras dengan kompleks perumahan elit Griya Arta yang letaknya nun jauh di seberang dibatasi tembok yang tinggi.
Menurut Budi Darma, Lampor menggambarkan kehidupan sebuah masyarakat jembel yang benar-benar jembel. Para anggota keluarga dalam cerpen Lampor ini tidak mempunyai pilihan lain selain hidup bagaikan binatang. Titik berat kehidapan binatang adalah kebutuhan biologis. Nilai-nilai moral menjadi luntur.
Jangan heran apabila kepala keluarga menjadi pengalamun, menginginkan kaya mendadak tanpa kerja. Juga jangan heran dalam keluarga semacam ini kemudian muncul bakat-bakat pencuri dan pelacur. Namun, jangan heran pula manakala dalam keluarga semacam ini masih ada makhluk yang berbudi luhur (hlm. xiii-xiv).
BACA JUGA: 3 Tempat yang Wajib Kamu Kunjungi saat di Jambi, Yakin Engga Pengen ke Sana?
Selain “Lampor”, cerpen menarik lainnya yang bisa disimak dalam buku terbitan Kompas (2016) ini berjudul “Dari Paris” karya Harris Effendi Thahar. Bercerita tentang lelaki tua bernama Pak Kasim, seorang pensiunan guru yang begitu merindukan kehadiran anak lelakinya yang sudah memiliki keluarga dan pekerjaan bagus di kota.
Pak Kasim memiliki tiga anak. Dua perempuan dan satu lelaki. Anak perempuannya yang sulung sudah lama bermukim di Arab bersama suami dan anak-anaknya. Anak perempuannya yang bungsu menjadi guru SD dan suami anak bungsunya menjadi guru SMP di kampung itu. Sementara Alwi, anak lelaki satu-satunya, bersama keluarganya bermukim di Amerika hampir dua tahun, disekolahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Kini, Alwi memang telah pulang ke tanah air, tetapi tidak sempat pulang ke kampung menjenguk ayahnya karena Alwi segera menduduki jabatan direktur sebuah perusahaan. Pak Kasim merasa kecewa, sebagai anak terpelajar, mustinya Alwi pulang ke Sumatra menjumpai ayahnya terlebih dahulu (hlm. 19).
Kisah Pak Kasim yang tak pernah menggunakan uang wesel kiriman dari Alwi, begitu menyentuh dan meninggalkan pesan berharga bagi pembacanya. Pesan agar selalu berusaha berbakti kepada orangtua. Jangan hanya karena kesibukan, lantas membuat seorang anak tak sudi mengunjungi orangtuanya yang berada jauh di kampung halaman.
Masih banyak cerpen-cerpen yang layak dinikmati dalam buku ini. Misalnya, cerpen “Tamu dari Jakarta” karya Jujur Prananto yang bercerita tentang perempuan bernama Ratna yang memiliki watak buruk, suka berbohong demi mendapatkan uang banyak. Bahkan, Ratna tak segan menipu temannya sendiri dengan begitu lihainya.
Semoga kehadiran buku ini dapat menjadi bacaan yang tak hanya menghibur tapi juga kaya akan pesan moral bagi para pembacanya. Selamat membaca.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS