Menjadi seorang esktrovert berarti menjadi terbuka pada semua orang. Hal ini tentunya menyenangkan karena bisa dekat dengan siapa saja. Namun, benarkah demikian?
Pernahkah kamu naik kereta dan di tengah perjalanan, kamu menyapa orang yang ada di sampingmu? Setelah itu, kamu bertanya pertanyaan-pertanyaan template seperti “Turun di mana?” atau “Kuliah atau sudah kerja?”
Tak sampai di situ, selanjutnya kamu malah menjadi akrab dan bercerita panjang lebar dengannya, misalnya membahas kehidupan sehari-hari, sepak bola, drama Korea, atau isu-isu politik. Jika pernah, maka kemungkinan besar kamu adalah seseorang yang memiliki kepribadian extrovert.
Mengenal si Ekstover
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring, 2016), kata extrovert diterjemahkan menjadi ekstrover yang memiliki makna sederhana sebagai seseorang yang terbuka pada orang lain mengenai pikiran dan perasaannya.
Ekstrover sendiri merupakan salah satu dari beberapa jenis kepribadian yang teorinya telah dikemukakan oleh Carls Gustav, seorang psikiater asal Swiss pada 1920 silam. Menurutnya, ada dua tipe utama kepribadian seseorang, yakni ekstrover (terbuka) dan introver (tertutup). Seiring berjalannya waktu, kini ada tambahan satu tipe kepribadian baru, yakni ambivert yang merupakan pertengahan diantara keduanya.
Seorang ekstrover dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi, seperti ramah, fleksibel, dan mudah beradaptasi. Dia tak segan untuk berbaur dengan banyak orang, termasuk orang baru sekalipun. Baginya, hal tersebut sangat menyenangkan.
Banyak Teman Tak Menjamin Kebahagiaan
Sayangnya, dekat dengan banyak orang bukan berarti terbebas dari permasalahan. Walaupun terlihat selalu riang gembira, nyatanya seorang ekstrover juga digeluti oleh permasalahan yang pelik.
Bicara soal hubungan pertemanan, seorang ekstrover tak perlu lagi diragukan jumlahnya. Namun, jika bicara kualitas, banyaknya relasi ternyata tidak menjamin kebahagiaan. Hal ini dapat terjadi karena saking banyaknya teman, seorang ekstrover akhirnya tidak dapat mempunyai kumpulan teman dekat.
Tidak adanya circle membuat si ekstover merasa kesulitan saat menghadapi permasalahan, misalnya saat ingin curhat ataupun meminta bantuan. Tentunya, tidak semua orang bisa menjadi tempat bercerita hal-hal privasi, bukan. Tidak semua orang yang berelasi dengan kita juga bisa dimintai bantuan, misalnya meminjam uang. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dilakukan seseorang yang berkepribadian introver, dimana ia hanya memiliki sedikit teman namun seluruhnya bisa jadi human diary.
Nestapanya nasib pertemanan seorang ekstrover bahkan telah diteliti oleh Profesor Christopher Soto di Maine, India. Dikutip dari Times of India (2019), timya melakukan survei pada 16 ribu peserta dan hasilnya, sebagian besar dari mereka yang mengaku ekstover perlahan-lahan merasa tidak memerlukan teman dan akhirnya berubah menjadi introver karena merasa tidak bahagia.
Nasib Percintaan
Selain soal pertemanan, rasanya tidak afdal jika tidak membahas mengenai percintaan. Selain circle pertemanan, rupanya memiliki pasangan adalah dambaan bagi seorang ekstrover. Ya, walaupun semuanya juga mau sih hehe.
Perjalanan menuju love relationship bagi seorang ekstrover tidaklah mudah. Jika introver sulit mendapatkan pasangan karena terlalu pasif, hal sebaliknya justru dialami oleh seorang ekstrover. Ya, dia gagal memperjuangkan cinta karena dinilai terlalu aktif.
Seorang ekstrover yang terbuka dengan banyak orang terkadang memang terlihat terlalu bersemangat hingga tanpa sadar membuat risih dan kadangkala juga dianggap sebagai tukang modus atau tidak serius. Padahal, itu semua murni berasal dari dalam dirinya, bukan mengada-ada. Dengan kata lain, memang sifatnya begitu, sudah dari sana-sananya.
Selain itu, memiliki pasangan seorang ekstrover juga adalah hal yang berat. Sang pasangan haruslah memiliki hati yang besar untuk menerima si ekstrover yang tidak bisa dikekang, khususnya dengan pergaulan bebasnya. Di sisi lain, kepribadian ekstrover juga memiliki kecenderungan gampang merasa bosan sehingga harus bersusah payah dalam mempertahankan hubungan dengannya.
Sebuah survei dari Yougov dikutip dari Ballard (2021) bahkan menyebutkan bahwa dari 13.000 pasangan di Amerika Serikat, sebagian besar dari diri dan pasangan mereka adalah ekstrover mutlak (43 persen), jauh dibandingkan dengan pasangan yang condong ekstrover sebanyak 8 persen, pasangan yang condong introver yang hanya 6 persen, dan pasangan introver mutlak sejumlah 11 persen.
Artinya, pasangan ekstrover memiliki jumlah yang jauh lebih banyak. Mereka dapat bertahan karena keduanya sama-sama memiliki kepribadian ekstrover sehingga dapat saling memahami satu sama lain tanpa mengalami banyak perselisihan.
Namun, apakah sebenarnya seorang ekstrover butuh pasangan? Jawabannya adalah iya. Keterbukaannya dengan banyak orang nyatanya tidak mampu menutupi kebutuhan seorang ekstrover yang harus selalu memiliki partner yang siap sedia dan selalu ada.
Kesimpulannya, seseorang dengan kepribadian ekstrover juga memiliki problem relationship yang cukup rumit. Dirinya yang selalu terlihat girang hati hanyalah sampul dari kesepian yang menghantuinya. Anggapan jika ekstrover tidak memerlukan relasi spesial tidak sepenuhnya benar. Nyatanya, membuka diri dengan banyak orang nyatanya bukanlah solusi terbaik bagi si ekstrover yang juga memerlukan relasi spesial berupa circle pertemanan dan juga pasangan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS