Jaranan diketahui merupakan kesenian tradisional jawa. Jaranan atau juga akrab disebut Kuda Lumping adalah kesenian rakyat atau tarian penunggang kuda (jaran) dengan kuda mainan yang terbuat dari bilahan anyaman bambu yang dirangkai sedemikian rupa lantas dijepit di antara dua kaki penarinya.
Kesenian ini tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya di Gorontalo, tepatnya di Kecamatan Tolangohula. Kesenian ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kecamatan Tolangohula. Hal ini dibuktikan dengan adanya kelompok kesenian jaranan di setiap desa.
Salah satu contohnya adalah kelompok jaranan Tirta Kencana yang ada di Desa Gandasari. Kesenian jaranan berawal dari program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Waktu itu masyarakat jawa pindah ke Gorontalo dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Selain untuk mencari kehidupan yang lebih baik, masyarakat transmigran juga turut membawa kesenian mereka.
Pada tahun 2001, masyarakat transmigran di Desa Gandasari, Kecamatan Tolangohula yang berasal dari berbagai daerah di Jawa, bersatu untuk membentuk kelompok kesenian jaranan yang diberi nama Tirta Kencana. Kelompok kesenian ini memiliki tujuan untuk melestarikan budaya Jawa dan memperkenalkannya kepada masyarakat Gorontalo.
Saat awal berdirinya, kelompok kesenian ini diketuai oleh Bapak Rumino. Beliau adalah seorang tokoh masyarakat yang memiliki dedikasi tinggi terhadap budaya Jawa. Saat ini, kelompok kesenian Tirta Kencana dipimpin oleh Bapak Sungkono. Beliau adalah seorang seniman yang memiliki visi untuk mengembangkan kesenian jaranan agar dapat bersaing di tingkat nasional maupun internasional.
Ketika pertama kali di bentuk, kelompok jaranan Tirta Kencana belum memiliki peralatan yang lengkap. Para anggota hanya menggunakan alat seadanya, seperti kuda lumping yang terbuat dari bambu dan anyaman, kemudian dicat agar terlihat menarik. Alat musik yang digunakan pun hanya kendang, bonang, gong, dan sound sistem. Barongan yang digunakan juga hanya satu, dengan kain hiasan yang terbuat dari sisa kain seadanya.
Kesenian jaranan Tirta Kencana pertama kali ditampilkan di acara kelahiran putra dari salah satu anggota kelompok, yaitu Bapak Jumino. Meski hanya memiliki peralatan yang seadanya, para anggota kelompok jaranan Tirta Kencana tetap bersemangat untuk melestarikan budaya Jawa. Mereka berlatih dengan tekun, dan mulai tampil di berbagai acara di Desa Gandasari.
Kesenian jaranan Tirta Kencana semakin lama semakin dikenal oleh masyarakat luas, tidak hanya di sekitar Desa Gandasari, Gorontalo, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia, seperti Kotamobagu, Manado, dan kota-kota lainnya.
Kesenian ini menampilkan berbagai atraksi yang memukau, seperti kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis. Para penari jaranan dapat membuka buah kelapa menggunakan gigi, memakan beling, mengunyah bara api, bahkan tahan terhadap deraan pecut. Hal ini membuat banyak orang tertarik pada kesenian ini.
Dalam upaya melestarikan kesenian ini, anak-anak di Desa Gandasari berinisiatif membentuk kelompok jaranan khusus yang beranggotakan anak-anak. Kelompok jaranan ini diberi nama "Kesenian Jaranan Bocil Siswo Budoyo" yang diketuai oleh Kevin Adi Prasetyo Wibowo. Dalam kelompok jaranan bocil ini, semua anggotanya adalah anak-anak, mulai dari usia 5 tahun hingga 15 tahun.
Kesenian tradisional Jawa yang dimainkan oleh anak-anak ini, mulai menarik perhatian banyak orang sejak dibentuk pada tahun 2021.Kesenian ini unik karena menampilkan perpaduan antara keceriaan anak-anak dan keluhuran budaya Jawa.Dalam pementasannya, jaranan bocil menampilkan berbagai adegan, seperti perang kepang, perang celeng, dan atraksi reog.
Selain menampilkan pertunjukan yang menarik, jaranan bocil juga menjadi sarana pengembangan bakat dan menambah penghasilan bagi anak-anak anggotanya. Hal ini membuat mereka senang dan bangga menjadi bagian dari kesenian ini.