Alam dan Manusia: Sebuah Narasi Kesadaran Lingkungan dalam Novel 'Di Kaki Bukit Cibalak'

Sekar Anindyah Lamase | Ragil Kristya Aji
Alam dan Manusia: Sebuah Narasi Kesadaran Lingkungan dalam Novel 'Di Kaki Bukit Cibalak'
Halaman sampul novel 'Di Kaki Bukit Cibalak' (Gramedia)

Novel 'Di Kaki Bukit Cibalak' merupakan karya novel yang pertama kali ditulis oleh Ahmad Tohari. Novel ini bersentra pada alam di Bukit Cibalak untuk mengisahkan suatu kehidupan masyarakat Desa Tanggir yang pada mula kisahannya masih terjalin erat dengan keberadaan alam dan lingkungan.

Sebagaimana karya-karya Ahmad Tohari yang lainnya, pembaca novel Di Kaki Bukit Cibalak akan segera menemukan kekhasan gaya penceritaan Ahmad Tohari yang menjunjung semangat dan kearifan kelokalan.

Alam dan lingkungan di Bukit Cibalak pada mulanya adalah suatu landscape yang dikisahkan oleh penulisnya sebagai suatu keadaan yang alami, dengan beragam kehidupan flora dan fauna yang terjalin dengan harmonis.

Namun, alam dan lingkungan di Bukit Cibalak pada gilirannya mengalami degradasi, yakni semenjak penduduk Tanggir terpengaruh oleh arus modernisasi dan peralihan teknologi.

Seakan melalui isu demikian, Ahmad Tohari ingin mendudukannya sebagai akar dari permasalahan yang dikisahkannya terjadi di dalam masyarakat Desa Tanggir.

Isu demikian yang kemudian dikembangkan oleh penulisnya menjadi kompleks permasalahan yang terjadi di Desa Tanggir, yakni permasalahan mengenai bagaimana mental modernisasi memiliki daya rusak yang luas, tidak saja bagi kelangsungan alam, akan tetapi lebih dari itu, yakni yang menyangkut kelangsungan hidup flora, fauna dan nasib kelangsungan hidup manusia sendiri. Mengapa bisa demikian?

Nampaknya, pada bagian tersebutlah Ahmad Tohari hendak mengirimkan pesan kepada pembaca bahwa sejatinya alam dan lingkungan adalah terhubung dengan manusia.

Oleh karenanya, manusia tidak dapat sewenang-wenang dalam mengelola alam dan lingkungan. Bukit Cibalak yang pada mulanya dikisahkan sebagai alam yang asli, natural—dan karena itu—ia menjadi rumah bagi banyak kehidupan flora dan fauna, pada gilirannya rusak karena ulah tangan dari manusia.

Modernisasi yang terjadi di Desa Tanggir tidak saja membawa alih teknologi semata, tidak saja mengubah teknologi pertanian dari manual ke mesin atau mengubah teknologi pembungkus daun menjadi plastik, akan tetapi turut pula mengubah kesadaran masyarakat Tanggir kebanyakan.

Mereka lantas terbawa dampak buruk dari modernisasi. Itu adalah peralihan kesadaran yang dikisahkan Ahmad Tohari mengenai konsumerisme, korupsi dan deforestasi. Pengaruh modernisasi tersebut yang kemudian membawa dampak buruk bagi kelestarian alam dan lingkungan di Bukit Cibalak, yakni krisis lingkungan yang terjadi di Bukit Cibalak dan Desa Tanggir. 

'Warisan si perkasa alam mati. Tinggal gumpalan batu kapur dan batu cadas disana. Cibalak mati seperti ketika ia baru muncul dari dasar laut jutaan tahun yang lalu" hlm. 69.

Novel ini begitu menarik untuk disimak. Sebagai suatu novel yang bersentra pada alam dan pedesaan, novel Di Bukit Cibalak menjadi suatu suguhan turistik yang bisa mengajak pembacanya kembali ke alam pedesaan di masa lalu.

Karena keberhasilan penulisnya dalam menggambarkan setting alam dan lingkungan yang mendekati keasliannya, banyak pembaca novel ini yang membagikan ketakjuban dari pengalaman membacanya.  

Di samping novel ini mengajak pembacanya untuk bernostalgia ke masa lalu, akan tetapi sejatinya penulisnya hendak memberi pesan tentang apa yang bisa saja terjadi di masa depan. Itu adalah pesan tentang menjaga hubungan yang tepat dengan alam dan lingkungan.

Sebab jika hari ini manusia merusak alam dan lingkungan, di masa depan pastilah terjadi alam dan lingkungan yang akan merusak kita. Sangat sarat dengan pesan.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak