"24 Jam Bersama Gaspar" merupakan film terbaru dari sutradara Yosep Anggi Noen, yang mempersembahkan kisah dystopia dibalut aksi, misteri, dan nuansa neo-noir.
Dibintangi oleh sejumlah aktor dan aktris ternama seperti Reza Rahadian, Shenina Cinnamon, Laura Basuki, Kristo Immanuel, Dewi Irawan, Iswadi Pratama, Ali Fikry, Shofia Shireen, dan Landung Simatupang.
Diadaptasi dari novel karya Penulis Sabda Armandia, dan sudah melenggang di Festival Film Indonesia 2023 dan Busan International Film Festival 2023, yang akhirnya tayang di Netflix sejak 14 Maret 2024.
Dalam cerita ini, seorang detektif swasta bernama Gaspar menghadapi takdirnya yang nggak terhindarkan: Kelainan Jantungnya (dekstrokardia), yang mana posisi jantung berada di sebelah kanan, dengan alat bantu yang membuat jantungnya seperti jantung buatan, rupanya mengalami kerusakan, sehingga jantungnya nggak berfungsi normal dan bisa menyebabkan kematian dalam waktu 24 jam.
Dalam usahanya untuk menebus waktunya yang hanya tersisa sehari, Gaspar pun mencari sahabat kecilnya yang dulu hilang dan mengajak sekelompok individu untuk merampok kotak hitam milik Wan Ali, seorang pemilik toko emas misterius.
Pertanyaannya, apa isi dari kotak hitam tersebut sehingga Gaspar bersedia mengambil risiko besar untuk mendapatkannya? Dan apa hubungannya Wan Ali dengan sahabatnya Gaspar?
Ulasan Film 24 Jam Bersama Gaspar
Dunia yang dibangun dalam "24 Jam Bersama Gaspar" merupakan sebuah gambaran dari sebuah masyarakat yang tenggelam dalam kekacauan pasca-apokaliptik. Penggambaran setting yang kacau dan suram memberikan nuansa distopia yang kuat.
Banyaknya bangunan nggak terawat, jalan-jalan kosong, dan atmosfer yang gelap, telah menciptakan suasana yang menegangkan.
Di tengah keadaan tersebut, konsep nihilisme tampak terlihat dari Gaspar maupun dunia pada zamannya. Nihilisme adalah pandangan filosofis yang menolak atau meragukan nilai-nilai fundamental, makna, atau tujuan dalam kehidupan.
Dalam konteks film "24 Jam Bersama Gaspar", nihilisme diinterpretasikan melalui beberapa elemen cerita.
Pertama, karakter Gaspar yang menghadapi kematian dalam waktu 24 jam bisa dipahami sebagai representasi, hidup itu ujungnya cuma mati doang. Kemudian, nihilisme juga termanifestasi melalui penggambaran setting post-apokaliptik yang suram dan kekacauan yang merajalela.
Dunia dalam film ini tampak kehilangan nilai-nilai yang dulu dianggap penting oleh masyarakat, dan segala bentuk struktur sosial serta kepercayaan pada otoritas kayak sudah lebur.
Terlepas dari nihilisme, iringan musik dari band indie, FSTVLST hingga Mustache And Beard terasa pas dengan adegannya. Namun, sayangnya, beberapa jokes dalam film ini entah mengapa nggak berhasil mengundang tawa.
Biarpun begitu, akting Reza Rahadian sangat hidup dalam memerankan karakter Gaspar. Namun anehnya, karakter-karakter lain cenderung terasa biasa, meskipun akting dari setiap pemeran bagus-bagus, tapi nyatanya karakter-karakter yang mereka perankan nggak meninggalkan kesan yang mendalam.
Dialog-dialog dalam film juga baku banget. Awalnya terdengar kaku dan aneh di telinga, tetapi lama-lama telingaku terbiasa.
Ditambah tempo yang agak lambat, membuatku butuh lebih dari secangkir kopi untuk mengikuti kisahnya.
Akan tetapi, endingnya berakhir dengan adegan aksi yang menegangkan, sehingga penantianku kayak terbayar tuntas.
Namun, lagi-lagi , anehnya aku nggak merasakan adanya urgensi dari waktu yang terus berkurang, seperti yang ditandai oleh jam sisa hidup Gaspar. Perasaan kacau yang seharusnya ada dan bikin penonton ikutan cemas pada nasib Gaspar, sama sekali nggak ada.
Pokoknya dengan segala pertimbangan, skor dariku: 7/10. "24 Jam Bersama Gaspar" tetap layak ditonton.