Film berjudul “127 Hours”, merupakan drama survival tahun 2010 yang disutradarai oleh Danny Boyle. “127 Hours” mencoba menggambarkan perjuangan nyata sosok petualang bernama Aron Ralston. Film sepanjang 93 menit yang dibintangi James Franco, seakan-akan mengajak penonton untuk ikut merasakan ngilu luar biasa.
“127 Hours” berasal dari kisah nyata yang menimpa Aron Ralston (James Franco). Aron memulai petualangan mendaki di Taman Nasional Canyonlands, Utah. Di sana, dia sempat berjumpa dengan Kristi (Kate Mara) dan Megan (Amber Tamblyn), dan menunjukkan mereka sebuah danau bawah tanah yang indah. Namun, saat Aron menjelajahi Blue John Canyon sendirian, malapetaka terjadi. Aaron terperosok dan terjebak oleh batu besar yang menghimpit tangannya.
Selama terjebak, Aron merekam diari video biar semangat hidupnya terjaga, dan terus berusaha menyingkirkan batu penghimpit supaya dirinya bebas. Namun, meskipun usahanya sia-sia, dia nggak kehilangan harapan. Lama-lama dia mulai berhalusinasi tentang kenangan masa lalunya.
Pada akhirnya, tanpa air dan persediaan makanan yang terbatas, Aron pun mengambil keputusan pahit. Keputusan itu ialah: Memutus lengannya dengan pisau sakunya. Dan benar, dengan keberanian luar biasa, dia sungguh melakukannya. Ngeri!
Ulasan:
Penyutradaraan Danny Boyle berhasil menggambarkan isolasi dan keputusasaan yang dirasakan Aron Ralston dengan sangat kuat. Aku sampai-sampai nggak kuat nonton adegan pemutusan lengannya. Asli, ngilu tingkat Dewa! Scene penyayatan lengan, pergerakannya, diambil dengan sangat berani. Terkesan sengaja dibuat dramatis, sehingga ketegangan dan kengiluannya meningkat.
Jujurly, akting James Franco dalam menghidupkan karakter dan emosi Aron Ralston layak banget diapresiasi. James Franco berhasil menunjukkan perasaan frustrasi, ketakutan, dan akhirnya keberanian yang dialami oleh karakter Aron selama perjuangan hidup dan mati. Kemampuan Franco untuk membawa penonton melalui berbagai emosi, seriusan kece banget.
Selain penyutradaraan dan akting yang oke, ‘127 Hours” juga diikuti dengan skenario yang kuat. Skrip yang ditulis oleh Simon Beaufoy dan Danny Boyle berhasil menangkap esensi dari kisah nyata Aron Ralston dengan penuh rasa dan empati. Dialog-dialognya pun terasa natural dan ngalir gitu, dan aku cukup menikmati alur cerita yang terstruktur dengan baik.
Oh, iya, ada elemen yang nggak boleh diabaikan begitu saja. “127 Hours” punya scoring musik yang sangat mendukung. Scoring musik yang digubah oleh A.R. Rahman, menurutku berhasil memberikan latar yang dalam dan emosional. Pokoknya, buatku, iringan musiknya secara efektif meningkatkan suasana tegang, keputusasaannya, dan sebuah harapan hidup yang muncul di akhir film.
Akan tetapi, seperti banyak film berbasis kisah nyata, “127 Hours” nggak bisa disukai oleh banyak penonton. Bahkan, muncul juga pertanyaan etis, terkait pembuatan filmnya. Ya, nggak jauh beda dengan Film Vina: Sebelum 7 Hari' yang saat ini lagi banyak diperbincangkan di Indonesia.
Film 127 Hours juga memunculkan diskusi tentang keputusan yang dibuat oleh Aron Ralston. Ada yang merasa itu tindakan berlebihan, menyayangkan keputusannya. Bahkan ada yang bertanya, apakah tindakannya melakukan amputasi sendiri adalah satu-satunya pilihan yang tepat? Begitulah, meskipun nggak ada titik temu alias jawaban yang jelas, dari pertanyaan para penonton (termasuk aku), tapi yang jelas film ini bisa dijadikan sebuah pelajaran penting buat siapa pun yang nonton, ‘minimal bila berkunjung ke suatu tempat dengan medan perjalan sulit, seenggaknya nggak sendirian’.
Bila kamu baru tahu film ini dan merasa kuat melihat kengiluan saat scene pemutusan lengan, ini cocok buat kamu. Okelah, selamat nonton ya.