Novel Blumbangan karya Narko Wirahasta merupakan novel berlatar perlawanan pada masa Orde Baru. Novel ini menjadi pemenang pertama di ajang event Novel Pilihan UNSA 2017.
Novel ini kemudian diterbitkan pertama kali pada November 2017 oleh Penerbit Basabasi dan mendapatkan antusiasme yang cukup tinggi dari para pecinta literasi pada saat itu.
Novel Blumbangan langsung membuat saya terpikat pada pembacaan pertama karena kekuatan narasi yang disuguhkan. Teristimewa lagi dengan teknik penceritaan yang menggunakan gaya epistola atau surat-menyurat, yang sempat saya khawatirkan jika sampai mengarah pada kebosanan.
Namun, sepertinya ketakutan saya tak beralasan, karena penulis dengan piawai mengubah narasi dalam surat-surat yang yang dikirimkan sang tokoh, Wibisono, pada kekasihnya, Meriandani, menjadi alur cerita yang mampu membuat saya turut hanyut dalam setiap kisahnya.
Novel Blumbangan sendiri berkisah tentang perlawanan wong cilik, dalam hal ini masyarakat desa Tretek Ireng, yang dihantui ketakutan karena patroli serdadu yang tiap malam menciduk warganya yang berjenis kelamin laki-laki, membawanya ke hutan Kali Beleh, dan mengeksekusi mereka di sana.
Atas ide dari Kamituwo Karni untuk menekan angka pencidukan, maka setiap malam para lelaki desa Tretek Ireng bersembunyi dalam blumbangan.
Blumbangan sendiri merupakan nama lain dari sumur yang berfungsi sebagai tempat tandon air. (Hal 32) Dengan kedalaman tiga sampai empat meter, blumbangan mampu menampung empat sampai lima orang lelaki dewasa.
Menariknya, novel ini menggunakan sudut pandang campuran, yaitu PoV satu, dari sudut penceritaan Wibisono melalui surat-suratnya dan sudut penceritaan Meriandani, serta PoV tiga, maha tahu.
Perpindahan setiap sudut pandang begitu smooth dan rapi, meskipun tingkat kesulitannya cukup tinggi, karena bisa membuat penulis terjebak dengan salah memasukkan kata ganti untuk PoV tertentu. Namun, nyatanya hal itu tak sampai terjadi.
Novel Blumbangan mengungkap sisi kelam pemerintahan dan meninggalkan sejarah berdarah yang terjadi pada wong cilik melalui kisah pencidukan, pemberontakan, pemerkosaan, pengkhianatan, tragedi, kehilangan, kematian, dan air mata.
Berkali-kali saya ikut tersayat pedih oleh nasib para tokohnya: Rakib, Arjuna, Kamituwo Karni, Meriandani, Meilani, Sanusi, dan Warsi. Mereka yang hilang dan kehilangan. Mereka yang tetap menunggu orang-orang terkasih, meski tahu yang ditunggu tak mungkin lagi kembali.
Ah, andai kau tahu, Mas, setiap hari di setiap waktu saya selalu menanti kabar darimu. Berharap kau datang mengunjungi saya sekali lagi atau sekadar menulis surat agar saya tak selalu resah dan bertanya-tanya perihal keberadaanmu yang apakah masih hidup atau justru sebaliknya. (Hal. 25)
“Aku akan terus menunggu,” kata Warsi. “Menunggu dalam kegelapan.” (Hal. 133)
Mengemas sejarah dalam novel melalui surat-surat, memang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh saya. Dalam hal ini, penulis telah berhasil menyajikan ceritanya dengan baik dan teknik penulisan yang cerdas.
Ending ceritanya pun telah berhasil mengguncang perasaan saya. Plot twist yang agaknya sudah dipersiapkan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan efek kejut yang luar biasa dan tak disangka-sangka.
Pokoknya, novel Blumbangan ini very recommended!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.