Resensi Novel Genduk: Potret Realistis Kehidupan Petani Tembakau di Tahun 70-an

Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Resensi Novel Genduk: Potret Realistis Kehidupan Petani Tembakau di Tahun 70-an
Cover novel Genduk (Ipusnas)

Mengambil setting di tahun 1970-an, novel Genduk karya dari Sundari Mardjuki telah berhasil memberikan gambaran tentang kehidupan para petani tembakau di masa itu, melalui kacamata gadis berusia sebelas tahun bernama Anisa Nooraini alias Genduk.

Genduk hidup berdua saja bersama ibunya yang ia panggil Yung. Ia tak pernah mengenal sosok sang ayah yang telah pergi meninggalkan ibunya saat ia belum lahir ke dunia.

Yung selalu marah jika Genduk menanyakan perihal Pak’e. Cerita tentang sang ayah hanya Genduk dapatkan dari Kaji Bawon, tetua di Desa Ringinsari di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, tempat Genduk dan ibunya tinggal.

Yung seorang petani tembakau. Bersama seorang kerabatnya, Lik Ngadun, mereka menggarap sepetak lahan tembakau. Dalam praktiknya, mereka harus meminjam modal pada rentenir dengan bunga tinggi.

Belum lagi mereka harus berurusan dengan Kaduk, yang kerap mengakali para petani tembakau sehingga mereka menjual tembakau dengan harga murah.

Kaduk dengan licik juga memanfaatkan Genduk untuk menuruti hawa nafsunya. Ia meyakinkan Genduk bahwa harga tembakau hancur dan pabrik membatasi pembelian dari petani. Tapi, tembakau Yung bisa dibeli dengan campur tangannya.

“Tidak semua tembakau bisa terpilih untuk dibeli. Hanya orang-orang tertentu. Termasuk panenan biyungmu. Tapi, … aku butuh kerja sama darimu,” katanya dengan suara rendah dan berat. Saking dekatnya jarak Kaduk denganku, aku bisa mencium bau napasnya. Bau apak. Tercium keras pahitnya rokok kelobot. (Hal. 78)

Novel yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama di tahun 2016 ini sarat akan konflik, mulai dari persoalan rentenir, pasar tembakau yang dikuasai tengkulak, ketimpangan kelas sosial, pelecehan seksual, sampai menyoal tentang komunis.

Alur cerita begitu mengalir. Bersanding dengan latar tempat yang digambarkan secara detail dan sangat baik membuat novel Genduk ini terasa filmis.

Sedikit yang mengganggu dari novel setebal 232 halaman ini, ketika Genduk yang masih berusia sebelas tahun mengalami pelecehan seksual berkali-kali, saya tak melihat adanya trauma dari kejadian tersebut.

Tak ada narasi maupun dialog yang menjelaskan Genduk secara emosi dan psikologi setelah peristiwa tersebut. Hanya sebatas keinginan Genduk untuk membalas dendam pada sang pelaku. Tapi, sampai akhir cerita yang saya tunggu-tunggu itu tidak terjadi.

Namun, lebih banyak hal yang menarik dari novel Genduk dibandingkan dengan sedikit ‘gangguan’ tadi, seperti ketika Genduk berusaha mencari jejak ayahnya yang pergi sejak ia masih dalam kandungan.

Dalam pencarian Genduk, banyak peristiwa yang dialaminya dan menjadi titik terang untuk hal-hal penting dalam hidup Genduk dan ibunya, bahkan untuk warga Desa Ringinsari.

Senangnya saya, cerita ini bertumbuh, setiap karakter berkembang semakin matang. Kekakuan sikap Yung terurai, seiring terjalinnya hubungan ibu-anak yang membaik. Kisah cinta tipis-tipis antara Genduk dan Sapto Adi juga sesuai porsi, mengingat usia mereka yang masih belasan tahun.

Novel Genduk juga sarat akan pesan moral tentang perjuangan hidup, cinta kasih antara anak dan orang tua, dan juga harapan. Novel yang akan dengan senang hati saya rekomendasikan kepada siapa saja.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak