Ulasan Novel Coppelia, Kesedihan Panjang Seorang Balerina

Sekar Anindyah Lamase | Rie Kusuma
Ulasan Novel Coppelia, Kesedihan Panjang Seorang Balerina
Cover novel Coppélia (Dok. Ijak)

"Luka karena kehilangan seseorang yang sangat kau cintai tak bisa begitu saja berkurang oleh waktu. Ada kalanya kau merasakan sakit yang beratus-ratus kali lipat.” (Hal. 117

Membaca kisah Arti Nefertiti dalam novel Coppelia karya dari Novellina A, saya langsung tertarik dengan tema yang coba diangkat, yaitu tentang konflik hubungan antara ibu dan anak.

Dikisahkan Nefertiti yang tumbuh dalam keluarga yang kental dengan dunia seni, ibunya seorang pelukis termashyur dan ayahya seorang arsitek terkenal. Begitupun kakek dari pihak ibu yang seorang pelukis kenamaan. Tapi, hal tersebut tak membuat Nefertiti mempunyai bakat yang sama.

Setelah mencoba menggali bakat seni Titi dan tak menemukan apa pun, ibunya yang kecewa, menyerah. Ia lalu memilih menjauh dari Nefertiti, tak pernah melibatkan diri dalam kehidupan sang anak, yang kemudian membuat Nefertiti merasa tak diinginkan oleh ibunya.

Ketika Nefertiti menunjukkan ketertarikannya pada seni tari, orang tua Titi memasukkannya ke sanggar balet. Di sebuah pertunjukan balerina yang dihadiri kedua orang tuanya, Titi bisa merasakan kekecewaan sang ibu karena dirinya hanya berperan sebagai Odile.

Kekecewaan Nefertiti bertambah-tambah sejak saat itu. Hanya kepada Mia, sahabatnya yang bisu dan memiliki keterbelakangan mental, Nefertiti mencurahkan perasaaannya.

Lalu ada Oliver, tetangga di seberang rumah Nefertiti yang menaruh hati pada gadis itu sejak mereka duduk di bangku SMA yang sama. Tapi, Oliver tak pernah berkesempatan mengungkapkan perasaannya, apalagi ketika Nefertiti pindah ke Jerman.

Untuk alasan yang tidak kumengerti, aku ikut tersenyum. Hatiku menghangat. Konsentrasiku buyar seketika. Mungkin karena aku tidak pernah melihatnya tersenyum, sehingga hari itu terasa seperti keajaiban. Itulah pertama kalinya aku mengenal apa itu jatuh cinta. (Hal. 119)

Menurut saya, tepat sekali ketika penulis menggunakan kata ‘act’ atau babak, untuk mengganti kata ‘bab’. Karena di setiap perpindahan bab, pembaca akan disuguhi babak demi babak kehidupan seorang Nefertiti, seperti dalam kisah dalam tarian balet.

Penggambaran setting cerita di beberapa negara begitu cermat dan mendetail, mulai dari pelarian Nefertiti ke Yunani, kehidupan masa kecilnya di Indonesia, lalu kepindahannya ke Jerman dan perjuangan Nefertiti untuk menjadi principal dancer di Staatsballet.

Menggunakan alur maju mundur dengan sudut pandang orang pertama, Nefertiti dan Oliver secara bergantian, pembaca tidak akan menemukan kesulitan untuk tahu siapa yang sedang berbicara, karena perbedaan ‘warna’ suara yang kental.

‘Aku’ milik Nefertiti akan terasa lebih suram, pesimis, skeptis. Sangat jauh berbeda dengan ‘aku’ milik Oliver yang cenderung dewasa, terbuka, dan dapat mengambil nilai positif dari setiap masalah.

Karakter setiap tokoh begitu kuat, bahkan untuk tokoh ibu Nefertiti yang bukan sebagai tokoh utama. Pembaca bisa merasakan dominasi sang ibu untuk menjadikan Nefertiti seperti dirinya. Sikap dingin dan tak acuh sang ibu yang memengaruhi kepribadian Nefertiti hingga dewasa.

Hubungan ibu dan anak yang begitu berjarak ini mewarnai keseluruhan kisah di dalam novel Coppelia. Pembaca juga bisa merasakan kasih sayang ibu Nefertiti yang sebenarnya ada, sayangnya ditunjukkan dengan cara yang tidak dimengerti Nefertiti.

Alur dan plot cerita yang rapi ternyata juga diakhiri dengan ending yang mengesankan. Saya merasa bahwa pilihan ending tersebut sudah sangat pas walau sedikit bikin geregetan.

Coppelia bukan sekadar kesedihan panjang seorang balerina, tapi juga menyoroti hubungan orang tua dan anak yang rumit, persahabatan, kisah cinta, perjuangan untuk meraih cita-cita, serta pengharapan akan sebuah pengakuan. Kalian harus membacanya!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak