Dalam buku kumpulan cerpen Berhala ini, Danarto banyak mengambil kejadian sehari-hari dalam kehidupan kita, namun dikemas dengan suasana absurd. Dari suasana sehari-hari, kemudian dilemparkan ke dalam situasi yang aneh dan tidak masuk akal.
Dalam cerpen yang pertama dalam kumpulan ini, Panggung, menceritakan tentang anak seorang pejabat tinggi Bappenas yang membenci kemunafikan bapaknya. Anak muda itu, agaknya, telah sangat bosan menjadi anak seorang pejabat tinggi yang koruptor, munafik, dan mengelabui masyarakat dari keadaan yang sesungguhnya.
Letusan pistol yang saya tembakkan disusul beberapa lutusan lagi, mengakibatkan Ayah sebagai sasaran terhuyung, darah muncrat dari tubuhnya membasahi jas birunya, seperti air muncrat di Jalan Thamrin. Menebah dadanya sesaat, Ayah menyeringai, tangannya mencari pegangan. Genggaman tangannya merenggut taplak meja dan segala masakan yang lezat-lezat itu terseret oleh berat tubuhnya yang gendut, berhamburan bersama porselen-porselen yang indah-indah itu. Persis segala sesuatu yang disedot masuk jurang. Tumpah ruah terkeping-keping. Lalu segala sesuatunya seperti diterima sebagai sesaji. (Halaman 37).
Ayahnya dibunuh ditembak di depan para pejabat Bappenas dan pejabat IGGI oleh anak muda itu. Ternyata kejadian itu bukan kejadian sebenarnya. la adalah sebuah panggung sandiwara yang telah disiapkan oleh bapak, ibu, saudara-saudaranya, dan pejabat-pejabat tersebut.
Ayah itu tidak meninggal. Malah pergi ke Paris, berfoya-foya dengan pacar anak muda itu. Anak muda itu waktu hendak membunuhnya untuk kedua kali menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sang ayah memang sudah menguasai pacarnya. Anak muda itu putus asa, ayahnya memang tidak terkalahkan olehnya.
Peristiwa kriminalitas lain yang juga tak biasa terdapat pada cerpen berjudul Pelajaran Pertama Seorang Wartawan. Dia mengalami penyiksaan yang utuh di luar, hancur di dalam. Dari mulut dan duburnya sama-sama deras mengeluarkan darah.
Jari tangan yang kekar itu meremas keras-keras perut saya. Memilinnya. Menyeringai saya sambil berusaha melepaskan cengkeraman itu sebisa-bisanya. Sia-sia. Untuk mengaduh saja saya tak punya kekuatan. Menggeliat sesaat sambil megap-megap, saya jatuh tersungkur bermandikan peluh. Hancur rasanya usus saya.
Lalu tangan yang kekar itu sempat saya lihat membanting tape recorder di sisi saya, hancur berantakan. Dua orang itu pun bergegas pergi dan ngebut dengan mobilnya sambil membuang tas pakaian saya, menghilang. (Halaman 51).
Berikutnya, cerpen bertajuk Selamat Jalan, Nek, yang mengisahkan jenazah eyang putri dari tokoh "saya" yang tiba-tiba hilang dibongkar maling. Padahal, kuburan tersebut sudah dijaga ketat selama empat puluh hari, empat puluh malam.
Kuburan itu menganga! Dalam keadaan masih terkantuk-kantuk, saya dan empat orang saudara dan seorang bule Kalifornia, melongo menatap kuburan yang menganga itu. Kuburan Eyang Putri yang kami jaga empat puluh hari empat puluh malam, dibongkar maling! Dan kain kafan, ya, kain kafan itu, menjuntai berkibar-kibar dari dalam lubang kubur, persis kobaran api perak yang menyala-nyala tak kunjung padam, karena ulah angin yang senantiasa mengembus-embus itu.
Membaca kumpulan cerpen dalam buku Berhala karya Danarto ini, sungguh banyak saya temukan tindak kriminal yang ganjil. Pencurian mayat untuk jimat kekebalan, supaya panjang umur, atau awet muda, dan lain sebagainya.
Dan tak jarang pula, saya dapatkan dalam beberapa cerpen Danarto ini terdapat komentar pengarang dalam cerita. Entah. Inilah kekhasan cerpen karya Danarto agar berbeda dari pengarang-pengarang yang lain.
Selamat membaca!
Identitas Buku
Judul: Berhala
Penulis: Danarto
Penerbit: Diva Press
Cetakan: I, Maret 2017
Tebal: 228 Halaman
ISBN: 978-602-391-270-4
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS