Kekerasan seksual masih kerap terjadi dan sayangnya terkadang laporan kasus kekerasan seksual tak ditanggapi dengan serius. Terkadang harus menunggu viral untuk membuat para penegak hukum bekerja dengan serius.
How to Kill Men and Get Away With It dapat dianggap sebagai bentuk respons terhadap perihal ketidakadilan ini. Sebagaimana yang dipikirkan oleh Kitty Collins sang tokoh utama, jika hukum tak dapat membereskan para pelaku, maka ia yang akan melakukannya.
Judulnya yang berani membuat saya tertarik membaca buku ini. Sampul bukunya memiliki warna yang ngejreng, namun jika diperhatikan dengan saksama sampul buku ini menceritakan isi bukunya.
Detail cipratan darah pada rok wanita yang ada di sana, bayangannya yang berbanding terbalik dengan tampilan orangnya dan gayanya yang fancy pun turut menyuarakan karakteristik tokoh utama dalam buku ini.
Warna riangnya tidak salah sebab kisah di dalamnya tidak menggunakan gumpalan awan hitam sebagai vibes utuh dan utama di dalamnya. Perpaduan antara slice of life dengan crime membuat buku ini terasa berat dan ringan di saat yang bersamaan.
Buku ini mengulik sisi gelap pada diri Kitty Collins yang muncul ketika dihadapkan pada manusia-manusia yang menjadi racun pada hidup para perempuan.
Bermula dari dirinya yang mengalami peristiwa tidak menyenangkan karena diikuti oleh seorang laki-laki pada saat dirinya dalam perjalanan pulang ke rumah.
Ketika mencoba untuk melindungi dirinya, hal yang dilakukan oleh Kitty ternyata membuat nyawa laki-laki tersebut melayang. Setelah inilah, dirinya kerap dihadapkan dengan kasus-kasus ketidakadilan yang dialami oleh para perempuan yang akhirnya membuat bagian diri yang ia coba tekan itu bangkit.
Para pelaku kejahatan tidak memiliki rasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Tertawa dan menganggap enteng luka yang mereka torehkan pada perempuan dan hidup dengan nyaman sementara para perempuan tersebut harus hidup dengan luka tersebut.
Dalam buku ini isu perempuan seperti ekploitasi anak di bawah umur dan kekerasan dalam rumah tangga dipaparkan secara frontal serta kemarahan yang tak dapat dibendung pun tumpah ruah.
Sebagai seorang perempuan, saya turut merasa sakit hati atas apa yang terjadi dan marah karena para pelaku tidak mendapatkan hukuman yang berarti dan dapat bergerak bebas menjalani hidup yang bahkan melancarkan aksinya untuk mendapatkan target selanjutnya.
Saya melihat kisah di dalam buku ini sebagai bentuk protes terhadap bagaimana respons dalam menangani kasus kekerasan yang dialami oleh para perempuan, bagaimana pandangan merendahkan yang dimiliki oleh para laki-laki yang tidak bertanggung jawab kepada perempuan dan mengekspresikan keinginan agar para perempuan dapat beraktivitas tanpa harus dibayang-bayangi oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan menimpa yang disebabkan oleh kotornya niat dan perlakuan dari para laki-laki.
Di sepanjang 384 halaman, Katy Brent selaku penulis terus memberikan kejutan demi kejutan entah itu terkait kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku atau kisah personal Kitty Collins itu sendiri. Buku ini penuh dengan segala keresahan tentang perempuan yang sangat krusial namun juga sering diabaikan.
Selain itu, di dalamnya juga menyentil mengenai adanya kasta dalam dunia influencer, pengkhianatan dalam hubungan romantis dan persahabatan hingga hubungan orangtua dan anak.
How to Kill Men and Get Away With It memiliki buku lanjutan yang berjudul I Bet You'd Look Good in a Coffin. Buku pertamanya ini sangat saya rekomendasikan terutama untuk para laki-laki.
Dari kisah di dalam buku ini kita bukan hanya akan mengetahui dari sisi para pelaku, namun juga mengetahui perasaan dan pikiran para perempuan yang selama ini selalu memendam sendiri apa yang mereka alami karena sulitnya mendapatkan keadilan dan mereka memiliki ketakutan akan dihakimi terutama jika pelaku datang dari kalangan orang yang berpengaruh.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS