Review Film Perayaan Mati Rasa: Saat Musik dan Luka Berpadu dalam Simfoni

Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Review Film Perayaan Mati Rasa: Saat Musik dan Luka Berpadu dalam Simfoni
Bintang Film Perayaan Mati Rasa (Instagram/ sinemaku_pictures)

Ada film yang mengandalkan cerita, ada yang menjual visual, ada juga yang menggoda dengan musik. "Perayaan Mati Rasa" yang diproduksi Sinemaku Pictures mencoba memadukan ketiganya dalam satu paket emosional yang bikin penonton berpikir, merasakan, bahkan mungkin ikut mati rasa—dengan cara yang unik.

Disutradarai Umay Shahab, film ini membawa kita ke dunia Ian Antono (Iqbaal Ramadhan), musisi yang masih terseok-seok mengejar mimpi bersama band indie-nya, Midnight Serenade. Sementara itu, dia harus menghadapi konflik keluarga, kehilangan, dan beban ekspektasi yang bikin hidupnya makin kompleks.

Namun, ada dua hal menarik yang bikin film ini punya nyawa lebih: Kehadiran Midnight Serenade sebagai elemen penting dalam cerita dan pilihan ending yang lebih subtil dibanding drama kebanyakan.

Midnight Serenade: Band Fiksi yang Terlalu Sayang untuk Dibiarkan Fiksi

Di antara daya tarik dalam "Perayaan Mati Rasa", ada pada musiknya. Midnight Serenade, band yang digawangi Ian dan teman-temannya, bukan cuma jadi pemanis cerita—mereka punya peran besar dalam membangun suasana dan emosi film. Lagu-lagu mereka mengiringi berbagai momen krusial, dari kegalauan Ian sampai puncak konfliknya.

Jujur saja, lagu-lagunya enak banget didengar. Kalau ada yang bilang Midnight Serenade ini harus jadi band sungguhan, rasanya bukan ide yang buruk. Apalagi kita sudah melihat beberapa contoh sukses sebelumnya, kayak D.O.A di "Suckseed" atau Dilan 1991 yang bikin The Panas Dalam Band makin dikenal.

Jadi, apakah Midnight Serenade bakal berhenti hanya sebagai elemen cerita? Atau bakal lanjut ke dunia nyata dan ngeluarin album sendiri? Kalau melihat respons penonton yang antusias, kayaknya sayang banget kalau mereka cuma bertahan di layar lebar.

Ending yang “Meleduk Tapi Nggak Meledak”

Di tengah drama keluarga yang emosional dan konflik yang terus memuncak, banyak yang mungkin berharap "Perayaan Mati Rasa" bakal punya ending yang heboh—ledakan konflik, tangisan dramatis, atau resolusi besar yang bikin hati puas.

Namun, Umay Shahab memilih jalan lain. Alih-alih meledakkan semuanya dengan dramatis, dia memilih pendekatan yang lebih subtil, lebih dalam, dan lebih relevan dengan realitas.

Salah satu contoh paling menarik adalah adegan AI voice changer, di mana Ian dan Uta harus berpura-pura bahwa ayah mereka masih ada dengan cara yang tragis sekaligus ironis. Ini bukan ledakan dramatis yang biasa kita temui di film drama keluarga, tapi lebih ke pukulan emosional yang pelan, dingin, dan menusuk.

Pendekatan ini bikin film terasa lebih “nyata.” Karena pada akhirnya, hidup jarang banget kasih kita penutupan yang sempurna. Kadang, kita cuma bisa menerima, berjalan maju, dan—mau tidak mau—merayakan mati rasa itu sendiri.

Bisa dibilang, "Perayaan Mati Rasa" bukan sekadar film drama biasa. Buat yang suka drama dengan story telling yang fresh, visual keren, dan musik yang bikin nagih, film ini jelas wajib masuk watchlist. Dan mungkin, saat Midnight Serenade manggung sungguhan, mungkin kamu yang akan nonton paling depan?

Skor: 3,5/5

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak