Bagaimana jika yang tertindas suatu hari menjadi penguasa? Jika mereka yang selama ini dianggap lemah akhirnya membalas perlakuan yang mereka terima dengan kejam?
Dalam kehidupan nyata, sejarah mencatat bagaimana kekuasaan yang berpindah tangan sering kali melahirkan bentuk penindasan yang serupa.
Novel "Kita Pergi Hari Ini" karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie mengangkat pertanyaan ini dalam sebuah kisah yang tampak seperti dongeng anak-anak, tetapi menyimpan kritik sosial yang tajam.
Kisah ini berpusat pada tiga bersaudara—Mi, Ma, dan Mo—yang tinggal di Kota Suara. Karena kesibukan orang tua mereka, ketiganya diasuh oleh Nona Gigi, seekor Kucing Luar Biasa yang tampaknya memiliki agenda tersendiri.
Bersama dua teman mereka, Fifi dan Fufu, anak-anak ini memulai perjalanan ke Kota Terapung Kucing Luar Biasa. Petualangan ini membawa mereka ke tempat-tempat aneh seperti Sirkus Sendu, tempat di mana manusia menjadi objek hiburan.
Namun, di balik kisah petualangan tersebut, terselip pesan mendalam tentang ketidakadilan, siklus kekuasaan, dan ketidakpedulian dunia terhadap mereka yang dianggap lebih lemah.
Salah satu tema utama dalam novel ini adalah bagaimana kekuasaan yang bergeser tidak serta-merta membawa keadilan. Kota Terapung Kucing Luar Biasa memperlihatkan bagaimana kucing-kucing yang dahulu diperlakukan buruk oleh manusia kini membalik keadaan.
Mereka menjadikan manusia sebagai sumber daya, memperlakukan mereka dengan cara yang sama seperti manusia memperlakukan binatang sebelumnya. Dalam realitas sosial, pola ini sering kali terjadi.
Sejarah memperlihatkan bahwa kelompok yang dulu tertindas, saat berkuasa, kerap mengulang pola dominasi yang sama.
Novel ini mengajak pembaca untuk mempertanyakan apakah keadilan sejati dapat dicapai jika hanya sebatas membalik posisi penindas dan yang tertindas.
Di samping itu, novel ini juga menyoroti sikap manusia yang cenderung mengabaikan masalah ketika mereka tidak terdampak langsung.
Orang tua Mi, Ma, dan Mo tidak menyadari bahaya yang mengancam anak-anak mereka karena terlalu sibuk dengan urusan pribadi.
Ini menggambarkan bagaimana banyak orang dewasa dalam kehidupan nyata yang tidak menyadari atau bahkan menutup mata terhadap penderitaan kelompok lain, selama hidup mereka sendiri tetap berjalan lancar.
Dari gaya penulisan Ziggy yang khas—penuh absurditas, satire, dan permainan kata—novel ini menawarkan pengalaman membaca yang unik. Penggunaan karakter anak-anak dan binatang yang berbicara menciptakan ironi yang kuat terhadap tema-tema serius yang diangkat.
Meskipun dikemas dalam narasi fantasi, "Kita Pergi Hari Ini" sejatinya adalah refleksi mendalam tentang ketidakadilan struktural, siklus kekuasaan, dan bagaimana ketidakpedulian dapat melanggengkan penindasan dalam berbagai bentuk.
Pada akhirnya, novel ini menyampaikan bahwa dunia tidak akan berubah jika kekuasaan hanya berpindah tangan tanpa ada perubahan dalam cara pandang terhadap keadilan. Siklus penindasan tidak akan berakhir jika yang tertindas hanya meniru perilaku penindas sebelumnya.
Akhir kata, selain menyajikan kisah akan petualangan, novel "Kita Pergi Hari Ini" juga sebuah cerminan dunia yang dapat mengajak para pembacanya untuk berpikir lebih jauh tentang posisi mereka dalam siklus sosial yang terus berulang.