Review Film Just Mom: Keluarga Nggak Harus Punya Ikatan Darah

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film Just Mom: Keluarga Nggak Harus Punya Ikatan Darah
Poster Film Just Mom (IMDb)

Apa yang membuat seseorang bisa disebut keluarga? Apakah ikatan darah adalah satu-satunya syarat, ataukah kasih sayang dan kepedulian lebih berarti? Pertanyaan ini terus menggelayut di benakku setelah menonton Film Just Mom yang pertama kali rilis pada 2021. 

Disutradarai Jeihan Angga, film ini menghadirkan akting luar biasa dari: Christine Hakim, Ayushita, Dea Panendra, Ge Pamungkas, Niken Anjani, Toran Waibro, dan masih banyak bintang pendukung lainnya. 

‘Just Mom’ diadaptasi dari ‘Novel Ibu, Doa yang Hilang’ karya Bagas D. Bawono. Dari awal hingga akhir, film ini nggak hanya menawarkan drama keluarga biasa, tapi juga menggugah pemahaman kita tentang makna keluarga itu sendiri. Penasaran dengan sekilas kisahnya? Yuk, kepoin bareng-bareng! 

Sekilas Tentang Film Just Mom 

Siti (Christine Hakim) adalah sosok ibu yang mulai menua dan harus berjuang melawan kanker. Meski memiliki dua anak kandung, Damar (Ge Pamungkas) dan Pratiwi (Niken Anjani), Siti justru lebih sering ditemani Jalu (Toran Waibro), anak angkatnya, serta Mbak Sum (Dea Panendra), asisten rumah tangga yang sudah lama mengabdi padanya.

Dalam keheningan rumahnya yang semakin sepi, Siti bertemu dengan Murni (Ayushita), perempuan hamil yang hidup di jalanan dan mengalami gangguan jiwa. Alih-alih mengabaikan atau sekadar merasa iba, Siti mengambil keputusan yang mengejutkan dengan membawa Murni pulang dan merawatnya seperti anak sendiri.

Keputusannya memicu konflik dengan orang-orang di sekitarnya. Pratiwi menentang keras, sementara Mbak Sum lebih merespons dengan keluhan dan kelakar khasnya. Namun, bagi Siti, merawat Murni bukan soal ngasih bantuan, itu adalah caranya untuk mengisi kehampaan saat ditinggalkan anak-anaknya yang jarang pulang.

Gimana, Sobat Yoursay? Seberat itu kisahnya ya. Nggak kebayang jika ada di antara kalian yang ‘seenggaknya’ mengalami hal serupa. Nah, bila kamu kepo sama impresi selepas nonton film ini, jangan skip sampai akhir. Dan hal yang paling membekas dari film ini adalah: 

Keluarga nggak Harus Sedarah

Melalui Film Just Mom, aku melihat kisah yang mendobrak batasan tentang keluarga. Di dalam masyarakat, kita biasanya menganggap keluarga sebagai ‘mereka (orang-orang) yang ada hubungan darah dengan kita. Namun di film ini, definisi itu terasa begitu sempit.

Siti menemukan keluarganya bukan pada anak-anak kandungnya yang sibuk dengan kehidupan masing-masing, melainkan pada mereka yang selalu ada untuknya: Jalu, Mbak Sum, dan Murni. Mereka nggak ada ikatan darah, tapi mereka ada di saat Siti membutuhkan seseorang untuk berbagi. Bukankah itu yang seharusnya menjadi inti dari sebuah keluarga?

Adegan paling menegaskan konsep ini adalah saat mereka makan bersama di meja makan. Biasanya, dalam film bertema keluarga, meja makan jadi simbol keharmonisan atau perpecahan. Namun, dalam Film Just Mom, meja makan jadi tempat berkumpul orang-orang yang sebenarnya nggak memiliki hubungan darah. Ada Murni, yang asal-usulnya nggak jelas. Jalu, yang merupakan anak angkat. Bahkan Mbak Sum, yang notabene (mungkin) sebatas asisten rumah tangga. Pemandangan hangat itu memperlihatkan mereka , duduk bersama dan jadi bagian dari keluarga Siti.

Saat melihat adegan itu, aku jadi berpikir: Berapa banyak dari kita yang merasa lebih dekat dengan orang lain dibandingkan dengan keluarga kandung sendiri? Berapa banyak dari kita yang justru menemukan kehangatan keluarga di luar lingkaran darah? Dan itulah momen terdalam dari Film Just Mom.

Selain naskah yang kuat dan akting yang begitu emosional, ‘Just Mom’ juga dihiasi sinematografi yang kaya simbolisme. Salah satu teknik paling menarik adalah penggunaan low-angle shot dalam adegan ketika anak-anak Siti bersimpuh di hadapannya.

Dalam budaya Jawa, ibu berada di posisi yang sangat dihormati. Ibu adalah sosok yang harus dimuliakan, hampir setara dengan figur suci. Dengan menempatkan kamera di sudut rendah dan memperlihatkan anak-anak Siti di posisi lebih rendah dari dirinya, visual ini menekankan bahwa sosok ibu tuh pusat dari kehidupan anak-anaknya.

Aku benar-benar terkesan dengan cara film ini menangkap esensinya tanpa harus terlalu verbal. Nggak ada dialog panjang lebar yang menjelaskan konsep ini, tapi cukup dengan satu adegan yang begitu kuat, kita bisa memahami bagaimana film ini ingin menyampaikan pesan tentang penghormatan terhadap ibu.

Selain itu, close-up pada wajah Christine Hakim di beberapa adegan juga ngasih dampak emosional yang besar. Ada satu momen di awal film ketika kamera hanya diam memandangi matanya—dan dalam tatapan itu, kita bisa merasakan seluruh perasaan yang dirinya pendam: Kesepian, kerinduan, ketakutan, tapi juga ketegaran.

Itulah yang kurasakan. Saat menutup layar laptop setelah menontonnya, aku nggak bisa berhenti merenung. Apakah kita benar-benar sudah menghargai sosok ibu dalam hidup kita? Apakah kita masih percaya kalau keluarga harus selalu berdasarkan darah, ataukah kita bisa mulai melihat bahwa keluarga sejati adalah mereka yang hadir di saat kita paling membutuhkannya? Jawabannya ada pada dirimu sendiri. Selamat nonton ya. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak