Ada sensasi tersendiri saat akhirnya bisa menonton film terbaru dari Jean Luc Herbulot, sutradara asal Kongo yang sebelumnya mencuri perhatian lewat Film Saloum (2021) yang jadi salah satu kejutan paling menyenangkan di Toronto International Film Festival. Kini, Jean Luc Hetbulot di tahun 2025 menghadirkan Film Zero, tontonan aksi yang padat, cepat, dan menyimpan banyak komentar sosial di balik letupan-letupan eksplosifnya.
Diproduksi PaperRock Pictures, Zero terasa seperti Film Crank milik Neveldine & Taylor dan Film Bad Boys versi Michael Bay. Pokoknya penuh gaya, adrenalin, tapi tetap mencoba menyampaikan sesuatu yang lebih dalam.
Sekilas tentang Film Zero
Ceritanya dimulai bak secepat peluru ditembakkan. Tentang pria asing asal Amerika, diperankan Hus Miller (yang juga menulis naskah bersama Herbulot), tiba-tiba terbangun di dalam bus di Dakar, Senegal.
Tubuhnya diikat bom, dan satu-satunya petunjuk berasal dari suara di earpiece-nya.
Karakter utama pria cuma diketahui sebagai One (#1). Dia nggak tahu siapa dirinya, mengapa ada di sana, dan apa misi yang harus dijalani. Dia tahu jika dirinya nggak mengikuti perintah, bom di dadanya bisa meledak kapan saja.
Nggak lama kemudian, dia bertemu dengan sosok Two (#2), diperankan Cam McHarg—sama-sama orang Amerika, sama-sama terjebak dalam situasi Jigsaw-esque, dan sama-sama punya tugas yang saling berkaitan.
Keduanya diperintahkan menjalankan serangkaian misi berbahaya di sekitar kota, misi yang tampaknya ditujukan untuk memprovokasi kekacauan sosial. Mereka bahkan digambarkan secara simbolik sebagai “kekayaan” dan “kekerasan”—dua wajah dari intervensi asing, khususnya Amerika, di tanah Afrika.
Selain dua tokoh utama, film ini juga menghadirkan Gary Dourdan sebagai Daniel, Roger Felmont Sallah sebagai Onaye, Moran Rosenblatt sebagai India, dan Annabelle Lengronne sebagai karakter Three (#3) Yang ikut memperluas jaringan misteri dalam filmnya.
Impresi Selepas Nonton Film Zero
Sebagai penonton, aku langsung terpikat gaya visualnya yang agresif—kamera drone berputar cepat, montage cepat ala MTV, dan musik yang mengentak-entak. Herbulot tampak mengagumi aksi blockbuster Hollywood, tapi dia memadukannya dengan suasana lokal yang kaya warna dan tekstur Dakar.
Namun, ‘Zero’ nggak hanya menawarkan sensasi visual. Di balik ledakan-ledakan dan kejar-kejaran brutal, terselip kritik politik terkait kolonialisme modern, dominasi budaya Amerika, dan bagaimana kekerasan bisa jadi alat kontrol yang sistematis.
Ketika One dan Two mulai menjalankan tugas mereka, kita nggak hanya melihat dua karakter asing yang terjebak, tapi juga alegori dari bagaimana intervensi asing dapat memicu kerusuhan di negara yang seharusnya bisa berdaulat.
Sayangnya, film ini sedikit kehilangan pijakan saat memasuki paruh kedua. Ketika Sutradara Herbulot mencoba ngasih latar belakang karakter, yang bahkan nggak diberi nama, aku merasa momentum film mulai goyah. Di awal, ketidaktahuan kita tentang siapa mereka justru nambah penasaran dan juga tegang. Namun, saat film mencoba menjelaskan “mengapa”, aku merasa energi cerita malah melambat. Ibarat roller coaster, aku lebih menikmati bagian ketika kita langsung meluncur cepat tanpa harus tahu detail teknis tentang rel yang kita lintasi.
Poin lain yang terasa agak lemah adalah saat film mulai terlalu eksplisit dengan pesan politiknya di babak akhir, yakni terkait imperialisme dan manipulasi sosial, sebenarnya sudah cukup kuat saat disampaikan lewat aksi dan dinamika karakter, tapi saat pesan itu mulai diucapkan secara langsung, aku merasa intensitasnya justru menurun.
Bagi aku pribadi, keren itu nggak cukup, tapi juga harus mengena hati dan tentunya nggak kendur sepanjang durasi. Selamat nonton, Sobat Yoursay.