Hidup dalam Empati, Gaya Hidup Reflektif dari Azimah: Derita Gadis Aleppo

Hernawan | Miranda Nurislami Badarudin
Hidup dalam Empati, Gaya Hidup Reflektif dari Azimah: Derita Gadis Aleppo
Novel Azimah (DocPribadi/Miranda)

Di tengah hiruk pikuk gaya hidup modern yang kerap berorientasi pada konsumsi dan kesenangan instan, novel Azimah: Derita Gadis Aleppo karya Arum Faiza hadir sebagai semacam “alarm nurani” yang menyentuh hati pembacanya. Novel ini tidak hanya menyajikan kisah seorang gadis remaja yang tumbuh di tengah reruntuhan perang Suriah, tetapi juga menawarkan refleksi mendalam tentang bagaimana kita seharusnya hidup—lebih berempati, lebih sederhana, dan lebih bersyukur.

Artikel ini membahas bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Azimah bisa membentuk gaya hidup yang lebih bermakna dan manusiawi, terutama bagi pembaca yang ingin menjadikan literasi sebagai bagian dari proses pertumbuhan diri.

1. Gaya Hidup Penuh Empati

Salah satu pesan paling kuat dari novel Azimah adalah pentingnya empati. Di tengah kehancuran Aleppo, tokoh Azimah menunjukkan bahwa kepedulian terhadap sesama tidak membutuhkan kemewahan, hanya kepekaan hati. Dalam kehidupan nyata, gaya hidup empatik bisa diwujudkan lewat hal-hal kecil: menyapa tetangga, membantu sesama tanpa pamrih, hingga lebih peka terhadap isu-isu kemanusiaan dunia.

Membaca kisah Azimah secara tidak langsung mengajak pembaca untuk keluar dari gelembung hidup pribadi dan mulai menengok realitas yang lebih luas. Empati bukan hanya tentang merasakan penderitaan orang lain, tetapi juga tentang bertindak dalam kebaikan yang konkret.

2. Hidup Sederhana dan Berkesadaran

Kontras antara kehidupan Azimah yang serba terbatas dan kehidupan kita yang serba tersedia, menimbulkan pertanyaan: benarkah kita hidup dengan kesadaran penuh? Ketika Azimah harus memilih antara air dan makanan, kita mungkin masih bisa membuang sisa kopi karena tidak sempat diminum. Dari sini, gaya hidup yang lahir dari novel ini bisa berbentuk gaya hidup minimalis—mengurangi konsumsi yang tidak perlu dan mulai hidup secara sadar (mindful living).

Sederhana bukan berarti kekurangan, melainkan cukup dan tahu makna dari setiap hal yang dimiliki. Seperti Azimah yang tetap menemukan harapan dalam reruntuhan, kita pun diajak untuk belajar melihat keindahan dari hal-hal kecil yang sering kita abaikan.

3. Literasi sebagai Sarana Pembentukan Karakter

Membaca Azimah tak hanya sekadar aktivitas rekreatif, tapi bisa menjadi sarana pembentukan karakter. Dalam konteks gaya hidup, membaca buku dengan tema kemanusiaan seperti ini bisa menjadi bagian dari “self-care” yang tidak hanya merawat tubuh, tetapi juga jiwa. Buku menjadi ruang kontemplatif yang membantu seseorang menjadi lebih tenang, sabar, dan bijaksana.

Budaya literasi yang berorientasi pada nilai-nilai kehidupan bisa menjadi tren gaya hidup masa kini—di mana membaca bukan hanya untuk hiburan, tapi juga untuk membentuk empati, wawasan global, dan sikap bijak dalam mengambil keputusan.

4. Menumbuhkan Kesadaran Global

Novel Azimah membuka jendela ke dunia yang mungkin jauh dari keseharian kita. Namun justru di situlah letak kekuatan karya ini: ia mengglobalisasi empati. Gaya hidup global citizen—yakni menjadi warga dunia yang peduli terhadap isu kemanusiaan, lingkungan, dan perdamaian—bisa dimulai dari kesadaran yang dibentuk lewat literasi.

Azimah bisa jadi tokoh remaja dari belahan dunia lain, tetapi penderitaannya adalah panggilan bagi siapa pun yang membaca kisahnya untuk bertindak lebih bijak, lebih peduli, dan lebih aktif dalam komunitas, baik lokal maupun global.

5. Mewariskan Kekuatan Lewat Keluarga

Dalam novel ini, keluarga adalah sumber kekuatan dan harapan. Meski konflik berkecamuk, kehangatan dan solidaritas keluarga Azimah tak pernah padam. Gaya hidup yang dibangun dari kekuatan keluarga—seperti makan bersama, saling mendukung, dan berbagi nilai moral—bisa menjadi penyeimbang di tengah derasnya individualisme zaman sekarang.

Kita bisa mengadopsi gaya hidup ini dengan menjadikan rumah sebagai tempat tumbuhnya cinta, bukan sekadar tempat tinggal. Membaca buku seperti Azimah bersama anak atau anggota keluarga lain juga bisa menjadi bagian dari tradisi yang mempererat ikatan sekaligus menanamkan nilai-nilai luhur.

Penutup: Hidup Bermakna Lewat Kisah Azimah

Azimah: Derita Gadis Aleppo bukan sekadar novel perang atau kisah sedih tentang anak yang menjadi korban konflik. Lebih dari itu, ia adalah karya yang memampukan pembaca untuk melihat hidup secara lebih utuh dan jernih. Dari reruntuhan Aleppo, kita belajar membangun gaya hidup baru—yang tidak hanya cantik di permukaan, tetapi juga kokoh di dalam.

Karena sejatinya, gaya hidup yang bermakna tidak datang dari banyaknya barang yang kita punya, tetapi dari seberapa dalam kita bisa mencintai, memahami, dan hidup dengan hati yang terbuka. Novel Azimah adalah pintu ke arah sana.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak