Ada sesuatu yang sangat memikat dari film horor-thriller yang memanfaatkan musik sebagai latar ketegangan, terutama ketika musik itu berasal dari dunia punk rock yang disegani dari semangat pemberontakannya. Inilah yang terjadi dalam ‘Green Room’ (2016) yang brutal, terkontrol, dan menyimpan ironi tajam.
Disutradarai dan ditulis sendiri Jeremy Saulnier, ‘Green Room’ terbilang film thriller penuh darah berdurasi 94 menit yang diproduksi Broad Green Pictures.
Film ini dibintangi bintang-bintang kece lho. Di antaranya:
- Anton Yelchin sebagai PatImogen
- Poots sebagai Amber
- Alia Shawkat sebagai Sam
- Joe Cole sebagai Reece
- Patrick Stewart yang tampil dingin sebagai Darcy Banker, pemilik klub skinhead sekaligus tokoh antagonis utama
Sekilas tentang Film Green Room
Ceritanya mengikuti band punk kecil bernama The Ain’t Rights, yang sedang dalam tur kecil-kecilan dan nyaris kehabisan uang.
Saat ditawari manggung di sebuah klub terpencil milik komunitas skinhead, mereka menyanggupi tanpa tahu bahwa pertunjukan itu akan berubah menjadi pertarungan hidup dan mati.
Setelah secara nggak sengaja menyaksikan pembunuhan, mereka pun terjebak di ruang ganti dan harus melawan sekelompok neo-Nazi bersenjata yang ingin menghapus jejak mereka.
Ngeri banget deh, Sobat Yoursay!
Impresi Selepas Nonton Film Green Room
Salah satu adegan paling mencolok (dan sejujurnya, bikin aku nyengir getir) adalah saat The Ain’t Rights memutuskan untuk membuka set mereka dengan lagu cover Dead Kennedys yang ikonik: “Nazi Punks F*** Off.”
Bayangkan, mereka berada di tengah kerumunan bersenjata, di klub milik seorang pemimpin neo-Nazi, dan mereka memilih lagu anti-fasis paling frontal dari katalog punk klasik. Gila? Iya. Lucu? Sedikit. Tegang? Banget.
Yang menarik bukan cuma keberanian atau kebodohan mereka membawakan lagu itu, tapi reaksi setelahnya. Saat sorak-sorai yang agresif mulai muncul dari kerumunan, sang vokalis buru-buru mengklarifikasi dengan suara kecil, “That was a cover.” Sebuah momen yang absurd tapi penuh makna. Di tengah dunia punk yang konon bebas dan jujur, mereka justru harus menjelaskan bahwa ekspresi mereka bukan ide pribadi. Seolah-olah lagi bilang, “Eh maaf ya, ini bukan kami yang mau.”
Buat aku pribadi, adegan itu menggambarkan bagaimana tempat yang seharusnya jadi ruang paling jujur bagi musisi—panggung—bisa berubah jadi ruang yang paling berbahaya ketika kekuasaan dan ideologi ekstrem menguasainya. Mereka naik ke panggung bukan sebagai performer, tapi sebagai calon korban. Lagu itu, yang seharusnya jadi pernyataan sikap, malah jadi peluru pertama yang mereka tembakkan ke musuh tanpa sadar.
Jeremy Saulnier tahu betul bagaimana memanfaatkan ironi itu sebagai sarana untuk membangun ketegangan sejak dini. Bukannya memulai dengan konfrontasi langsung atau penembakan, dia memilih lagu. Sebuah pilihan yang mungkin terdengar kecil, tapi berdampak sangat besar.
Yang bikin film ini makin menarik buatku adalah bagaimana Saulnier menggunakan dunia punk bukan cuma sebagai latar atau estetika visual. Dia benar-benar menggambarkan punk sebagai semangat, meski dia nggak cukup mengeksplorasi sisi musikalnya.
Namun, kendatipun demikian, kita diberi gambaran jelas kok, bahwa punk nggak cuma tentang rambut mohawk dan kaus robek. Punk adalah keberanian, kebodohan, spontanitas, dan kadang keputusasaan.
‘Green Room’ bisa dianggap sebagai upaya bertahan hidup, tentang bagaimana pilihan-pilihan kecil—seperti membawakan lagu yang “salah”—bisa berarti hidup dan mati. Tragis banget deh.
Terlepas dari sudut pandang mana dalam mengamati dan menilai bobot Film Green Room, yang jelas, nggak ada penilaian yang benar-benar mutlak kok. Selamat nonton ya, Sobat Yoursay.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.