Bahasa ringan, rasa dalam—karena cinta tak selalu datang dengan utuh, tapi tetap bisa tumbuh dari patah. Ada luka yang datang diam-diam, dan ada cinta yang tumbuh dari puing-puingnya.
Begitu kira-kira suasana hati saat menyusuri lembar demi lembar novel Perempuan Bayangan karya Netty Virgiantini. Novel setebal 216 halaman yang terbit tahun 2020 ini menawarkan kisah yang lembut tapi menghujam. Novel terbitan Gramedia Pustaka Utama satu ini menceritakan tentang dua jiwa yang sama-sama patah, lalu dipertemukan. Bukan karena cinta, tapi karena takdir yang diatur oleh Yang Kuasa dan tak luput dari campur tangan sepupu Satria bernama Padmi yang menjodohkannya dengan sahabatnya, Ningrum.
Ningrum, perempuan yang tubuhnya tak lagi bisa menjadi rumah bagi anak, tapi hatinya tetap luas untuk menampung kecewa. Dua kali ditolak calon mertua bukan hal sepele, tapi ia menjalaninya dengan ketenangan yang dalam, dengan hati yang legawa—sejenis keikhlasan yang jarang dimiliki manusia zaman sekarang. Ia bahkan sudah pasrah bila memang harus menjalani hidup tanpa pernikahan. Namun, tak dipungkiri jika kedua orang tua Ningrum masih mengharapkan pernikahannya selalu anak semata wayang.
Tapi dengan kondisinya yang tak memiliki rahim, semua tampak sulit dijangkau. Meski begitu, jangan kira Ningrum murung atau depresi. Justru dialah pelipur lara. Sosok ceria dan kocak, dengan selera humor yang segar dan sikap yang hangat. Ia bukan hanya hadir sebagai istri, tapi sebagai penyembuh diam-diam. Ia datang ke hidup Satria seperti hujan kecil di musim kemarau—nggak selalu disambut, tapi membawa kehidupan. Bahkan meski kehadiran Ningrum hanyalah sebatas bayangan dari mendiang istri Satria, Utari.
Satria, lelaki yang hatinya masih tinggal di masa lalu, bersama bayangan mendiang istrinya, Utari. Patah hatinya terasa wajar terutama perpisahan itu bukan karena perceraian, tapi kematian. Tak hanya kehilangan sosok yang amat dicintai, ia juga kehilangan calon buah hati yang dikandung Utari. Tapi janjinya pada arwah Utari mungkin membuat pembaca ingin menggoyang bahunya, dan berkats: “Udah, kamu hidup di dunia nyata, bukan di bayangan.”
Meski begitu, Satria tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai suami—meski tak seaktif atau seterbuka yang diharapkan. Ia hadir, meski seringkali hanya sebagai siluet. Dan justru di situlah peran Ningrum semakin terasa: ia bukan tokoh yang ditunggu untuk diselamatkan, tapi yang diam-diam menyelamatkan. Sosok yang tangguh sekaligus paling layak untuk dicintai.
Yang paling terasa dari novel ini adalah: kehalusan bahasa dan kedalaman rasa. Gaya tutur Netty Virgiantini enak dibaca, tidak berisik tapi tetap menyentuh. Seperti ngobrol di sore hari sambil menenangkan hati sendiri.
Minusnya? Mungkin sebagian pembaca berharap Satria lebih menunjukkan usaha sebagai pasangan. Tapi mungkin justru itu yang membuat cerita ini terasa nyata—karena tidak semua orang tahu caranya mencintai lagi setelah kehilangan.
Ada satu pesan yang menjadi sorot utama yang dibawakan sosok Padmi di tengah cerita, yaitu jangan pernah membuat janji saat marah, senang, atau sedih. Karena bisa jadi, janji itu hanya akan berakhir menyakiti. Entah karena tak bisa ditunaikan, atau karena mengikat mati diri sendiri.
Kesimpulan:
Perempuan Bayangan bukan tentang cinta yang sempurna, tapi tentang dua orang yang belajar tumbuh dari retakan. Ningrum menunjukkan bahwa jadi perempuan tak harus utuh untuk jadi penuh. Dan kadang, perempuan yang bisa tertawa paling keras adalah yang paling mampu menyembuhkan.
Untuk kamu yang pernah merasa ditolak dunia tapi masih ingin mencoba lagi—kisah ini bisa jadi teman seperjalanan.