Menguliti Luka dan Obsesi dalam Novel False Idol Karya Shooastrif

Ayu Nabila | Oktavia Ningrum
Menguliti Luka dan Obsesi dalam Novel False Idol Karya Shooastrif
Novel False Idol (Dok.pribadi/Oktavia Ningrum)

Melihat ketebalan bukunya mungkin kamu akan sedikit gentar untuk membawanya pulang dan membaca kisah di dalamnya. Tapi, jikalau sudah membuka halaman pertama justru pembaca akan sulit menghentikan keseruannya. 

Dari buku ini kita akan sadar, betapa halusnya manipulasi dan doktrin melekat pada otak manusia hingga korban tak akan sadar sedang mengalami itu. Untuk kamu yang suka bacaan angst yang membuat hati, otak, dan moral bergejolak. Kamu harus baca buku ini! 

Identitas Buku

  • Judul: False Idol, A Stepbrother Dark Romance
  • Penulis: Shoo Astrif
  • Penerbit: AMP Production
  • Tahun terbit: 2021
  • Tebal: 842 halaman
  • Genre: Dark Psychology, Romance, Adult

Shooastrif mengguncang ranah fiksi dewasa Indonesia dengan bukunya yang berjudul False Idol. Buku pertama dari seri A Stepbrother Dark Romance. Sejak rilis, novel ini memicu perdebatan karena temanya yang gelap, berani, dan tanpa kompromi.

Mengangkat isu pelecehan seksual dan sindrom Stockholm, False Idol bukan bacaan yang ringan. Banyak ledakan emosional dari dua sisi: sang pelaku dan sang korban. Kadang ikut terhanyut dalam lembut dan manisnya untaian kata Theo, namun kerap kali tersadar dan marah atas yang dialami Egalita. 

Trauma dan Luka Batin: Antara Kecanduan dan Kepasrahan

Cerita berpusat pada dua tokoh utama: Theodore Rahadian (Theo) dan Egalita Manar (Ega). Dua saudara tiri yang hidup di bawah atap yang sama namun menyimpan rahasia kelam yang menyayat.

Theo, dari sudut pandangnya sendiri, adalah definisi seorang predator berwajah malaikat. Ia menggambarkan Ega sebagai “xanax pribadi” miliknya. Penenang yang membuatnya ketagihan secara emosional dan seksual. Ia tahu Ega ketakutan, tahu dia tidak benar, tapi tetap melangkah. Bahkan, keinginan dan ketagihan Theo dibalut dengan kalimat manipulatif seperti, “Masih ada banyak trik kepunyaan kakak, kamu mau lihat?”

Sedangkan dari sisi Ega, pembaca diajak masuk ke dalam kepala seorang korban yang terus berjuang memahami dan menolak apa yang terjadi padanya—namun terjebak dalam permainan manipulasi yang panjang. Theo di matanya adalah "idola" semua orang, panutan sempurna yang tak bercela, tapi hanya Ega yang tahu wajah aslinya. Sosok yang di depan publik tampak bijak dan manis, namun di ruang-ruang tertutup, menjadi monster yang membuat Ega kehilangan dirinya sendiri.

Dua Sudut Pandang, Dua Dunia yang Retak

Shoo Astrif menyusun novel ini secara bergantian dari sudut pandang Theo dan Ega. Format ini sangat efektif dalam mengeksplorasi psikologi karakter—terutama untuk menunjukkan betapa rumitnya hubungan kekuasaan dan manipulasi yang dibangun. Pembaca dipaksa menyelami batin dua karakter dengan lapisan emosi dan trauma yang rumit. Ini bukan sekadar kisah cinta berbalut konflik, tapi pergulatan antara dominasi dan luka batin.

Theo bukan hanya “karakter penjahat biasa”. Ia ditulis dengan kedalaman yang membuat pembaca marah, muak, sekaligus penasaran. Namun, tidak ada simpati yang pantas diberikan. Shooastrif berhasil menulis Theo sebagai potret realistis dari pelaku kekerasan seksual: menawan dari luar, rusak di dalam. Dan itulah yang membuat karakter ini begitu mengganggu.

Sementara Ega, walau kadang membuat frustrasi karena merasa bersalah atas pelecehan yang ia alami. Justru merepresentasikan betapa umum mekanisme psikologis ini kerap terjadi di kehidupan nyata. Sindrom Stockholm bukan fiksi. Dan False Idol menampilkan itu tanpa sensor, tanpa glorifikasi.

Membaca untuk Marah, Membaca untuk Paham

False Idol bukan bacaan yang menyenangkan. Tapi itulah tujuannya. Shooastrif tak sedang mengajak kita berfantasi, melainkan menyodorkan realitas gelap yang kerap tersembunyi di balik dinding rumah dan senyuman manis.

Bagi pembaca yang mencari kenyamanan atau romansa ideal, ini bukan untukmu. Tapi bagi kamu yang siap untuk marah, muak, dan berpikir ulang soal dinamika kekuasaan dalam hubungan, False Idol adalah novel yang layak dikupas habis—meskipun pedih. 

Shooastrif membuktikan bahwa sastra bisa menjadi ruang yang jujur, bahkan ketika jujur itu berarti menampilkan keburukan manusia dalam bentuknya yang paling eksplisit. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak