Kesenian Bantengan: Antara Warisan Budaya dan Keresahan Sosial

Hayuning Ratri Hapsari | Oktavia Ningrum
Kesenian Bantengan: Antara Warisan Budaya dan Keresahan Sosial
Kesenian Banteng (Instagram/banteng_joyoaji)

Bagi warga Jawa Timur, Bantengan merupakan salah satu seni pertunjukan yang tak asing dan kerap tampil di berbagai acara maupun perayaan. Menjadi sebuah kesenian yang seharusnya dilestarikan oleh masyarakat, seni bantengan punya citra yang kurang baik di beberapa kalangan.

Utamanya masyarakat Indonesia yang mayoritas warganya memeluk agama Islam, bantengan dianggap sebagai budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan menentang hukum-hukum syariat. Isu-isu seputar kesurupan, praktik spiritual, hingga gaya hidup para pelaku seni sering kali menjadi bahan pergunjingan.

Dulu Dilupakan, Kini Diperebutkan

Ironisnya, bantengan yang dulu sempat "dibuang" dan terlupakan di daerah asalnya, kini justru dilestarikan dan dipentaskan di berbagai kota—bahkan mulai dilirik sebagai potensi pariwisata dan warisan budaya.

Pemerintah daerah, komunitas kreatif, hingga pelaku seni mulai membangkitkannya kembali. Namun di balik geliat itu, muncul keresahan tersendiri di kalangan masyarakat yang justru merasa nilai-nilai asli dari bantengan mulai tergerus.

Fenomena ini memunculkan dilema: bagaimana mungkin sesuatu yang dulu dianggap tidak layak, kini diangkat sebagai simbol budaya? Dan apakah pelestarian ini benar-benar membawa manfaat, atau justru menjauhkan bantengan dari ruh aslinya?

Wawancara: Perspektif dari Dalam Arena

Kesenian Banteng (instagram/banteng_joyoaji)
Kesenian Banteng (instagram/banteng_joyoaji)

Untuk memahami lebih dalam, saya berbincang dengan Rahmadie Firdaus, akrab disapa Ade, salah satu anggota aktif dari kelompok Bantengan Joyo Aji. Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam ini memberikan pandangan yang jujur sekaligus reflektif.

“Saya nggak memungkiri ya, kadang emang ada sisi negatifnya,” ujar Ade.

“Kayak pulang malam, kesurupan, bahkan kadang salat jadi ketinggalan kalau pentasnya maraton,” sambungnya.

Sebagai mahasiswa PAI, Ade memandang pelibatan dirinya dalam seni bantengan justru membentuk nilai-nilai yang tidak dia temukan di bangku kuliah:

“Relasi saya luas banget. Saya ketemu orang dari komunitas yang beda-beda. Ada yang islami, ada yang spiritual Jawa, bahkan ada yang sekuler. Tapi dari situ saya belajar toleransi. Itu nggak ada di buku pelajaran,” katanya lagi.

Bagi Ade, bantengan bukan sekadar atraksi. Ia adalah ruang tumbuh, ruang belajar tentang identitas, tentang keberagaman, dan tentang bagaimana sebuah budaya bisa jadi jembatan, bukan penghalang.

Ketika Agama dan Budaya Harus Duduk Bersama

Kesenian Banteng (instagram/banteng_joyoaji)
Kesenian Banteng (instagram/banteng_joyoaji)

Masyarakat kita kerap dihadapkan pada dikotomi antara agama dan budaya, seolah keduanya tidak bisa berjalan beriringan. Padahal sejarah Islam di Nusantara menunjukkan hal sebaliknya: Islam datang dan menyatu dengan budaya, bukan dengan menggantikannya secara mutlak.

Bantengan mungkin mengandung elemen-elemen spiritual tradisional, namun itu bukan alasan untuk menolaknya secara mentah.

Sebaliknya, perlu ada ruang dialog: bagaimana pelestari bisa menjaga nilai-nilai luhur budaya, sembari tetap menyesuaikan dengan nilai moral dan agama yang dianut.

Pelestarian seni seperti bantengan tidak harus berarti kompromi total, tapi bisa menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini—antara kepercayaan dan kebudayaan.

Pelestarian atau Komodifikasi?

Kesenian Banteng (instagram/banteng_joyoaji)
Kesenian Banteng (instagram/banteng_joyoaji)

Namun satu hal yang tak bisa dihindari dari kembalinya bantengan ke panggung populer adalah risiko komodifikasi. Seni yang dulunya lahir dari hati rakyat kini sering dipaket dalam kemasan wisata atau festival, yang kadang menjauh dari nilai-nilai aslinya.

Hal yang orang tahu hanya kesurupan dan bantengan, padahal ranah budaya dari kesenian bantengan sendiri sangat luas. Ada singa putih, kuda lumping, dan sebagainya. 

“Pernah kami diminta tampil tapi disuruh potong durasi, dilarang ada kesurupan, padahal itu bagian dari alur,” ujar Ade. 

Ini menjadi catatan penting. Bahwa pelestarian tak boleh sekadar meriah di permukaan tapi kehilangan makna di dalam. Bantengan bukan hanya hiburan, ia adalah ekspresi budaya. Dan budaya, adalah cermin identitas.

Bantengan hari ini tengah berjalan di tali tipis antara penerimaan dan penolakan, antara pelestarian dan pencucian budaya. Namun lewat tangan-tangan muda seperti Ade, yang tak hanya mengerti gerak tari banteng tapi juga mendalami makna iman, kita bisa berharap ada jembatan yang menyatukan keduanya.

Karena sejatinya, budaya bukan untuk dilawan, tapi untuk dipahami. Dan mungkin, seperti dalam bantengan, kita semua adalah pemain yang sedang belajar menari: menyeimbangkan tradisi, iman, dan zaman yang terus berubah.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak