Five Cities Four Women: Saat Para Penyedia Jasa Teman Kencan Butuh Dekapan

Ayu Nabila | Athar Farha
Five Cities Four Women: Saat Para Penyedia Jasa Teman Kencan Butuh Dekapan
Poster Film Five Cities Four Women (IMDb)

Ada satu masa dalam hidup kita semua yang rasanya kayak mimpi buruk kolektif, yakin pandemi COVID-19. Jalanan sunyi, toko-toko tutup, suara ambulans jadi hal biasa. Dan yang paling berat? Keintiman, sentuhan, dan pertemuan jadi sesuatu yang berbahaya. Di tengah situasi kayak gitu, kita semua bertahan dengan cara masing-masing. 

Namun, pernah nggak sih kita mikir, gimana rasanya jadi perempuan yang pekerjaannya adalah ‘menyediakan keintiman’ di saat keintiman sendiri jadi hal yang dilarang di masa itu? Ups

Itulah titik mula Film Five Cities Four Women yang tayang di KlikFilm, drama antologi yang diproduksi OneTwoThree Media, dan disutradarai bareng oleh Jakov Sedlar dan Ami Drozd, yang juga ikut menulis naskahnya bersama Dominik Sedlar. 

Para bintangnya pun bukan sembarang aktor. Ada Franco Nero dan Armand Assante, yang walau perannya nggak dominan, tapi kehadirannya nambah bobot emosi. Lalu ada Al Sapienza, kemudian lima aktris perempuan yang jadi tulang punggung film ini:

  • Deidre Monique Benton
  • Raida Adon
  • Ruth Borenstein
  • Alena Kurta
  • Lucija Rukavina

Berkisah tentang apa sih film antologi macam ini? Yuk, kepoin!

Sekilas tentang Film Five Cities Four Women

Film ini dibagi jadi lima segmen yang berdiri sendiri, tapi punya benang merah yang halus.

Empat segmen utamanya berpusat pada kisah perempuan yang bekerja sebagai escort (jasa teman kencan), masing-masing tinggal di kota yang berbeda: New York, Yerusalem, Kyiv, dan Zagreb. Mereka semua datang dari latar belakang yang unik, berbicara dalam bahasa berbeda, dan menyimpan luka masing-masing.

Segmen kelima, yang berlatar di Roma, agak berbeda. Kali ini bukan soal perempuan, tapi tentang pria yang jadi manajer alias "pimp", yang diam-diam juga bergulat dengan kesepian dan rasa kehilangan selama masa pandemi.

Yang menyatukan mereka semua bukan cuma COVID dan sepi yang menggigit, tapi juga kebutuhan yang sangat manusiawi untuk merasa ada, didekap, dicintai, disentuh, dan dimengerti, biarpun itu cuma lewat suara di ujung telepon atau tatapan kosong dari balik jendela.

Klise banget ya? Eits, jangan buru-buru menilai sebelum baca tuntas! 

Impresi Selepas Nonton Film Five Cities Four Women

Hal yang menarik buatku, film ini berani membongkar lapisan kehidupan yang sering kita anggap tabu, tapi dengan cara yang lembut dan manusiawi.

Nggak ada dramatisasi berlebihan, nggak ada penghakiman. Justru yang aku dapat tuh, potret perempuan-perempuan biasa yang menjalani hidup dalam kondisi luar biasa. 

Rasanya kayak aku lagi duduk di sebelah mereka, mendengarkan cerita yang nggak pernah berani ceritakan ke orang lain.

Dan untuk para bintangnya. Semua tampil dengan gaya akting yang minim dialog tapi kaya ekspresi. Nggak perlu teriak-teriak buat menyampaikan rasa sakit atau kerinduan. Tatapan kosong, jeda napas, dan cara mereka duduk sendiri di ujung ranjang kadang sudah cukup bikin hatiku ikutan iba. 

Pada dasarnya aku suka banget gimana tiap kota punya nuansa sendiri. New York terasa kacau dan penuh kegelisahan. Yerusalem lebih sunyi dan spiritual. Kyiv malah ngajak ke masa lalu yang penuh trauma, sedangkan Zagreb jadi tempat nostalgia dan keterasingan.

Film ini sebenarnya saling berkaitan sih, semacam ada benang merahnya, biarpun nggak benar-benar menyatu. Jadi gini, meski para karakter utama tinggal di tempat yang jauh-jauh, tapi menjalani kesendirian yang sangat mirip. Pandemi jadi latar, tapi bukan fokus utamanya. Fokusnya tuh terkait bagaimana manusia mencari makna dan kedekatan dalam dunia yang semakin dingin dan berjaga jarak.

Bagus nggak sih? Karena jarang banget ada film yang mau bicara tentang perempuan, seksualitas, dan kesepian dengan cara yang tenang dan jujur kayak gini, dan karena Film Five Cities Four Women bukan film moralistis, film ini menurutku bagus (tergantung selera). 

Jujurly, kalau Sobat Yoursay mencari film yang seru, pacing cepat, atau penuh kejutan, ini nggak banget dan nggak cocok buatmu sih. Cuma kalau kamu kayak aku, suka duduk tenang dan tenggelam dalam cerita yang pelan tapi dalam, film ini bisa jadi teman malam sambil berbaring terus tidur. Eh!

Skor: 3,5/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak