Haruki Murakami memang punya cara ajaib untuk menulis kesepian. Novel Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage membawanya kembali untuk mengajak kita masuk ke dunia seseorang yang di luar terlihat sempurna, tapi ternyata menyimpan luka yang mendalam.
Novel ini bercerita tentang seorang pria bernama Tsukuru Tazaki yang berusia 30 tahun. Ia berkerja sebagai insinyur di stasiun kereta.
Hidupnya terlihat cukup stabil. Namun tak disangka, ia masih menyimpan sebuah cerita dari masa lalunya.
Semasa SMA dulu, ia punya lima sahabat dekat. Mereka sangatlah dekat. Bahkan semua nama temannya mengandung warna (merah, biru, putih, hitam), kecuali Tsukuru. Ia merasa "tak berwarna", tidak istimewa.
Tibalah mereka masuk ke perkuliahan. Entah apa alasannya, tiba-tiba sahabat Tsukuru meninggalkannya tanpa alasan jelas. Sejak saat itu, Tsukuru merasa hancur.
Ia kemudian memilih untuk tetap menjalani hidupnya. Selama bertahun-tahun, ia hidup dipenuhi baying-bayang alasan tidak jelas. Ia merasa bingung, merasa bersalah, dan terus menebak apa sebenarnya yang terjadi kepada sahabat-sahabatnya itu.
Novel ini mengikuti perjalanannya bertahun-tahun kemudian, ketika ia akhirnya berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, perjalanan yang membawanya ke Finlandia, dan juga ke sudut-sudut hatinya sendiri.
Di novel Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage ini, Murakami mengajak kita menyelami perjalanan batin seseorang yang tampaknya biasa saja, namun menyimpan luka lama yang belum sempat diobati.
Tsukuru, tokoh utama kita, tampak tenang di permukaan, menjalani hidup sehari-hari dengan tertib dan tanpa gejolak besar.
Murakami menyuguhkan cerita ini dengan gaya khasnya yang tenang, melankolis, dan penuh simbolisme. Ia juga menyajikannya dengan sangat lembut, penuh refleksi, dan sesekali dibumbui dengan elemen surealis yang menjadi ciri khasnya.
Yang menarik, Murakami tidak memberikan semua jawaban dengan gamblang. Pembaca seperti diajak untuk mencari tahu sendiri dan menebak apa yang sebenarnya terjadi antara tokoh utama dan teman-temannya.
Kita diajak menjembatani antara apa yang terlihat dan yang tak terucap, seperti yang juga dilakukan Tsukuru terhadap teman-teman lamanya.
Tidak ada emosi yang terlalu meledak dalam novel ini. Setiap kalimatnya terdengar pelan. Justru itu membuatnya terdengar halus dan masuk ke perasaan pembaca.
Yang lebih menarik, tema pencarian makna diri juga tersirat dalam perjalanan yang dilalui tokoh utamanya. Jadi ini bukan hanya kisah tentang kehilangan persahabatan saja.
Novel ini menunjukkan fase dalam hidup yang sering kali penuh ketidakpastian, kehilangan arah, dan pencarian makna hidup. Mungkin itu sebabnya karya-karyanya terasa sangat personal, seperti berbicara langsung ke dalam ruang-ruang sunyi yang tidak semua orang tahu cara memasukinya.
Tentang bagaimana masa lalu bisa membentuk (atau menghantui) kita, dan bagaimana keberanian untuk menghadapi luka lama kadang justru jadi kunci untuk melangkah ke depan.
Novel ini memang sederhana dari segi plot, tapi ia seperti cermin. Memantulkan pertanyaan tentang siapa kita, bagaimana kita membentuk identitas, dan sejauh mana orang lain mempengaruhinya.
Tsukuru merasa hidupnya seperti "nol", kosong dan tak memiliki warna. Namun, proses menyelami masa lalu justru membawanya sedikit demi sedikit pada pemahaman bahwa mungkin, tak semua hal bisa dimengerti... dan tak apa-apa.
Mungkin terasa seperti sendu dan sunyi ketika membaca novel ini. Tapi bagi sebagian orang yang merasakan kisah yang sama (sering dilupakan oleh teman sekelompok, dianggap tidak ada, dan sebagainya), kisah ini mungkin akan cukup terbawa ke perasaan.