Ada kepahitan yang terus berulang dalam sejarah perfilman kita: film serius lahir dengan cinta, tapi tenggelam bukan karena mutu, melainkan keadaan. Panji Tengkorak jadi contoh terbaru dari tragedi itu.
Film animasi 2D ini jelas bukan proyek asal-asalan. Falcon Pictures berani menghidupkan kembali karakter legendaris karya Ganes TH, pendekar bertopeng tengkorak dengan aura mistis dan nuansa kelam.
Digarap hampir tiga tahun oleh sutradara Daryl Wilson, dengan suara aktor populer seperti Denny Sumargo, film ini dipromosikan sebagai kebanggaan baru animasi lokal. Ambisinya besar: membuktikan Indonesia mampu menghasilkan animasi layar lebar dengan kualitas terbaik, bukan sekadar tontonan televisi atau YouTube.
Sayangnya, ambisi sebesar itu harus berhadapan dengan sesuatu yang nggak bisa mereka kendalikan, salah satunya terkait waktu rilis.

Tanggal 28 Agustus 2025, bioskop Indonesia kedatangan Panji Tengkorak. Sayangnya, di luar bioskop, jalanan sedang membara. Demonstrasi besar-besaran meletus, barisan aparat berhadap-hadapan dengan massa, dan isu darurat militer menyesaki udara. Negeri ini sedang riuh, panas, dan menegangkan.
Dalam suasana begini, siapa yang sempat mikirin beli tiket film?
Hari pertama hanya ±5.576 orang yang duduk di kursi bioskop untuk nonton Film Panji Tengkorak. Dua hari pertama baru sekitar ±12 ribu. Setelah tiga hari, angkanya berhenti di kisaran ±16 ribu. Bahkan setelah empat hari, jumlah penontonnya masih di bawah 20 ribu.
Bandingkan dengan film Pencarian Terakhir yang tayang di minggu yang sama: 90 ribu penonton hanya dalam dua hari. Rasanya, Panji sedang bertarung sendirian di medan perang yang sunyi.
Di titik ini, aku merasa Panji Tengkorak nggak lagi sebatas karakter fiksi yang lahir dari goresan tinta komik klasik. Bayangkan, ‘pendekar’ yang dipanggil kembali dari halaman-halaman komik untuk menghibur bangsa, tapi dilempar ke arena yang salah, yakni panggung bioskop di tengah bangsa yang sedang riuh rendah menyelamatkan diri dari kegaduhan politik dan hiruk pikuk jalanan.
Musuh yang dihadapi Panji kali ini bukan perampok, siluman, atau tokoh antagonis yang bisa ditebas dengan pedang pusaka. Lawannya tuh kebisingan politik yang menyita semua ruang perhatian publik, membuat layar bioskop terasa sunyi, kursi-kursinya kosong, dan cerita heroik Panji sampai nggak terdengar gema soraknya. Ironi banget sih, saat tokoh fiksi ingin bicara pada rakyat, rakyat malah lagi terlalu lelah untuk mendengarkan.
Memang benar, film ini masih harus berhadapan dengan kompetisi yang berat dari film horor (genre yang selalu punya magnet kuat di Indonesia), tapi jujur, Film Panji Tengkorak hadir dengan daya tarik yang berbeda dengan menawarkan fantasi, laga, dan nostalgia.
Seharusnya film ini layak mendapat lebih banyak penonton. Layak diapresiasi bukan hanya karena keberanian menghidupkan kembali ikon lama, tapi juga karena keberanian melawan arus pasar yang sedang terjebak selera seragam.
Namun, mau gimana lagi, kita perlu jujur, Indonesia adalah negeri yang mudah gaduh. Begitu politik panas, semua hal lain tenggelam. Budaya dan seni, betapa pun pentingnya, sering hanya jadi latar belakang.
Andai saja film tayang sebulan lebih cepat, atau rilis ditunda, mungkin euforianya berbeda.
Aku jadi teringat satu hal, perfilman Indonesia memang rapuh, dan salah satu rapuhnya ada di timing. Ada film bagus yang mati karena banjir menutup akses ke bioskop. Ada film serius yang karam karena tayang bersamaan dengan blockbuster Hollywood. Dan sekarang, Film Panji Tengkorak jadi korban yang kalah sama demonstrasi dan ketegangan politik.
Yang bikin hati makin nyesek terkait kerja keras kru yang nyaris nggak terlihat. Bertahun-tahun menggambar, mengisi suara, menyusun musik, mengedit frame demi frame, semua itu bisa jadi hanya dicatat dalam angka penonton puluhan ribu.
Padahal, kalau kita mau sedikit lebih adil, Film Panji Tengkorak punya nilai yang pantas diapresiasi. Memang, ini bukan animasi sempurna, masih ada cacat di voice acting, ada musik yang kurang pas, tapi masih sangat termaafkan.
Pada akhirnya, Panji Tengkorak akan dikenang bukan karena prestasi box office, tapi karena kegetiran nasibnya.