Review Film DollHouse: Ketika Boneka Jadi Simbol Trauma yang Kelam

Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Review Film DollHouse: Ketika Boneka Jadi Simbol Trauma yang Kelam
Poster film Dollhouse (IMDb)

Aku bakal santai banget dengan marathon film Jepang di bioskop, Rabu (17/9/2025). Pilihan pertamaku adalah Dollhouse (2025), film horor misterius yang merinding tapi nagih, dan dilanjutkan sama Detective Conan: One-Eyed Flashback (2025) anime detektif ikonik yang selalu penuh twist.

Dua karya Jepang yang beda vibe tapi sama-sama bikin ketagihan—horor gelap vs misteri cerdas. Siap-siap pop corn dan jantung berdegup!

Nah, langsung aja yuk kita deep dive ke ulasan lengkap Dollhouse (2025). Film ini lagi hot banget di kalangan pencinta J-horror, dan buat yang suka genre cursed object ala The Ring atau Annabelle, ini wajib banget ditonton.

Disutradarai sama Shinobu Yaguchi, yang biasanya lebih dikenal lewat komedi ringan kayak Swing Girls atau Waterboys, tapi kali ini dia balik ke akar horor pertamanya setelah hiatus panjang.

Rilis perdana di Jepang pada 13 Juni 2025, dan untungnya buat kita di Indonesia, film ini bisa disaksikan di bioskop mulai hari ini, 17 September 2025 lewat distributor Toho yang bekerja sama sama jaringan seperti Cinepolis, XXI dan CGV. Jadi, kalau kamu lagi baca ini, buruan cek jadwal terdekat—tiketnya laris manis, lho!

Ceritanya dimulai dari kisah yang bikin hati pilu sekaligus ngeri. Bayangin, Yoshie (diperankan apik oleh Masami Nagasawa, yang ekspresinya bisa bikin aku ikut hancur) dan suaminya Tadahiko (Koji Seto, solid seperti biasa) lagi berduka cita berat.

Anak perempuan mereka yang baru lima tahun, Mei, tiba-tiba hilang entah ke mana. Bukan cuma hilang, tapi hilang tanpa jejak, tanpa penjelasan—seperti ditelan bumi.

Yoshie, yang awalnya ibu rumah tangga biasa, langsung ambruk. Dia nggak lagi bisa makan, tidur, atau bahkan tersenyum.

Hidupnya jadi rutinitas hampa, di mana setiap sudut rumah mengingatkan pada tawa Mei yang dulu ceria. Suaminya Tadahiko coba bertahan, tapi tekanan emosional itu bikin rumah tangga mereka retak pelan-pelan.

Suatu hari, saat lagi jalan-jalan sendirian di pasar antik tua yang penuh barang-barang aneh, Yoshie nemuin boneka ukuran asli yang mirip banget sama Mei.

Rambut hitam panjang, mata besar polos, bahkan senyum kecilnya seperti kloning sempurna. Tanpa pikir panjang, dia beli boneka itu—mungkin sebagai pengganti sementara untuk lubang di hatinya.

Awalnya, boneka ini jadi penyelamat. Yoshie kasih nama "Mei kecil", diajak ngobrol, digendong, bahkan dibawa tidur.

Perlahan, Yoshie mulai pulih; dia bisa ketawa lagi, masak makanan favorit keluarga, dan hubungannya sama Tadahiko mulai hangat kembali. Seperti terapi grief yang nggak biasa, tapi works buat sementara.

Tapi, seperti semua cerita horor Jepang yang bagus, nggak ada yang selamanya manis. Boneka itu mulai... berubah. Awalnya hal kecil: Yoshie bangun pagi dan nemuin boneka udah pindah posisi sendiri di meja makan, atau rambutnya yang tadinya rapi jadi acak-acakan kayak abis main.

Tadahiko awalnya nggak percaya, bilang itu cuma imajinasi istrinya yang lagi rapuh. Sampai suatu malam, boneka itu bergerak—beneran bergerak!

Dia lompat ke arah Yoshie dengan kekuatan seperti gulat sumo, bikin aku yang nonton langsung jerit sambil ketawa gugup. Dari situ, horornya naik level. Boneka ini nggak mau dilepas.

Mereka mencoba buang ke sampah, tapi besoknya muncul lagi di depan pintu. Kirim ke kuil buat ritual pemakaman boneka tradisional Jepang (iya, ada budaya itu di sana, di mana boneka lama dibakar buat "membebaskan arwah"), eh besoknya balik lagi, lengkap sama bau amis aneh.

Review Film DollHouse

Salah satu adegan di film Dollhouse (Instagram.com/dollhouse_movie)
Salah satu adegan di film Dollhouse (Instagram.com/dollhouse_movie)

Yaguchi pintar banget mainin elemen budaya Jepang di sini. Boneka bukan cuma objek mati; di mitologi Jepang, boneka bisa jadi wadah roh atau kutukan, terinspirasi dari legenda seperti hitogata atau boneka pembalas dendam.

Film ini nggak cuma andalin jump scare murahan—walaupun ada beberapa yang bikin aku loncat dari kursi bioskop—tapi lebih ke psychological horror.

Aku ikut merasakan gimana Yoshie mulai ragu: Apakah ini kutukan beneran, atau cuma halusinasi dari trauma? Twist-nya? Ternyata, hilangnya Mei nggak sesederhana itu.

Ada rahasia kelam di balik pasar antik itu, melibatkan pedagang misterius yang punya koneksi gelap sama masa lalu keluarga Yoshie. Boneka itu? Bukan cuma mirip Mei—dia "ingat" hal-hal yang seharusnya nggak mungkin, seperti bisik-bisik nama orang yang udah lama mati.

Performa aktornya top markotop. Masami Nagasawa, yang kamu kenal dari film-film seperti Cencoroll atau Platinum Data, bener-bener all-in. Matanya yang merah karena nangis, tangannya yang gemetar saat pegang boneka, semuanya terasa raw dan relatable.

Koji Seto sebagai suami yang frustasi tapi setia, nambahin lapisan emosional—aku bisa ngerasain konflik internalnya antara cinta dan ketakutan.

Pemeran pendukung seperti Tetsushi Tanaka sebagai tetangga aneh yang tahu terlalu banyak, atau Ken Yasuda sebagai biksu kuil, bikin cerita lebih kaya tanpa overacting.

Sinematografi Futa Takagi juga juara: Lighting remang-remang di rumah tua mereka bikin suasana creepy, sementara shot di pasar antik penuh detail yang bikin aku pengin pause buat zoom in.

Secara teknis, runtime 110 menit pas banget—nggak kepanjangan, tapi cukup buat build tension. Sound design-nya minimalis, cuma suara napas berat dan gesekan kain boneka yang bikin bulu kuduk merinding.

Banyak yang bilang meski mirip Annabelle campur The Doll versi Indonesia. Rating dari aku: 8/10—bukan horor paling inovatif, tapi dieksekusi dengan hati, bikin aku mikir ulang soal grief dan bagaimana kita "menggantikan" objek yang hilang.

Intinya, Dollhouse bukan cuma film serem buat seru-seruan, tapi juga renungan halus soal kehilangan yang nggak pernah bener-bener sembuh.

Kalau kamu lagi butuh catharsis emosional sambil deg-degan, ini pilihan tepat. Nonton di bioskop Indonesia sekarang juga, sebelum kamu yang "dihantui" FOMO! Setelah ini, aku bakal lanjut ke ulasan Detective Conan: One-Eyed Flashback. Stay tuned ya!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak