Review Film Afterburn: Petualangan Epik di Dunia yang Rusak!

Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Review Film Afterburn: Petualangan Epik di Dunia yang Rusak!
Poster film Afterburn (IMDb)

Film Afterburn merupakan salah satu karya terbaru dalam genre action post-apocalyptic yang dirilis di tahun 2025. Disutradarai oleh J.J. Perry, yang sebelumnya dikenal sebagai koordinator stunt di film-film besar seperti John Wick dan The Fate of the Furious, ini adalah debut penyutradaraannya yang penuh aksi.

Film ini diadaptasi dari komik berjudul sama karya Scott Chitwood dan Paul Ens, dengan skenario ditulis oleh Matt Johnson dan Nimród Antal.

Dibintangi oleh aktor-aktor ternama seperti Dave Bautista sebagai pemeran utama Jake, Samuel L. Jackson sebagai Valentine, Olga Kurylenko sebagai Darya, dan Daniel Bernhardt sebagai antagonis utama.

Dengan durasi sekitar 110 menit, Afterburn menawarkan perpaduan antara petualangan, aksi tembak-menembak, dan elemen sci-fi yang menggambarkan dunia pasca-kiamat akibat ledakan matahari raksasa.

Cerita berlatar belakang dunia yang hancur setelah solar flare dahsyat menghancurkan belahan timur Bumi, meninggalkan Eropa dan Asia dalam reruntuhan radioaktif.

Jake, seorang mantan tentara yang kini menjadi pemburu harta karun bayaran, bertugas untuk mengambil artefak berharga seperti lukisan Mona Lisa dari reruntuhan Paris. Namun, misinya tidak mudah karena ia harus menghadapi saingan pemburu harta, bandit liar, dan ancaman radiasi yang mematikan.

Plot ini mengingatkanku pada film-film seperti Mad Max atau The Book of Eli di mana survival dan pencarian harta menjadi inti cerita.

Tanpa spoiler berat, alur cerita dibangun dengan tempo cepat, dimulai dari pengenalan dunia pasca-apokaliptik hingga klimaks penuh ledakan dan pertarungan tangan kosong. Ya, meskipun premisnya menjanjikan, skenario terkadang terasa klise dengan dialog yang predictable dan twist yang kurang inovatif.

Review Film Afterburn

Salah satu adegan di film Afterburn (instagram.com/afterburnfilm)
Salah satu adegan di film Afterburn (instagram.com/afterburnfilm)

Dave Bautista sekali lagi membuktikan dirinya sebagai aktor action yang karismatik. Sebagai Jake, ia membawa nuansa pahlawan yang tangguh namun rentan, dengan fisiknya yang kekar sempurna untuk adegan-adegan pertarungan brutal.

Bautista tidak hanya mengandalkan otot; ia menambahkan lapisan emosional melalui backstory karakternya yang traumatis, sehingga bisa membuatku berempati.

Samuel L. Jackson, sebagai mentor dan bos Jake, menghadirkan kharisma khasnya dengan dialog-dialog sarkastis yang menghibur. Perannya sebagai Valentine terasa seperti variasi dari karakter ikoniknya di film-film Marvel, tapi tetap efektif dalam menyuntikkan humor di tengah kekacauan.

Olga Kurylenko sebagai Darya, mitra Jake yang misterius, memberikan performa yang solid dengan aksi fisik yang lincah, meskipun karakternya agak kurang dikembangkan.

Daniel Bernhardt sebagai villain utama juga patut diacungi jempol; latar belakangnya sebagai stuntman membuat adegan konfrontasinya terasa autentik dan intens.

Dari segi penyutradaraan, J.J. Perry memanfaatkan pengalamannya di bidang stunt untuk menciptakan adegan aksi yang keren.

Koreografi pertarungan tangan kosong dan kejar-kejaran kendaraan di reruntuhan kota terasa dinamis dan realistis, dengan penggunaan praktikal effects yang minim CGI berlebihan.

Visual film ini kuat, dengan sinematografi oleh Jacques Jouffret yang menangkap keindahan mengerikan dari lanskap pasca-apokaliptik dari gurun radioaktif hingga reruntuhan Eiffel Tower yang ikonik.

Efek visual, termasuk simulasi radiasi dan ledakan, dibuat dengan detail yang mengesankan, meskipun budget produksi terlihat tidak sebesar blockbuster Hollywood.

Musik latar oleh komposer John Paesano menambah ketegangan, dengan skor yang menggabungkan elemen elektronik dan orchestral untuk menekankan suasana distopianya.

Tema utama dalam Afterburn  adalah tentang keserakahan manusia di tengah kehancuran, di mana artefak seni menjadi simbol nilai yang tersisa di dunia yang rusak. Film ini juga menyentuh isu lingkungan, seperti dampak perubahan iklim ekstrem melalui metafor solar flare.

Akan tetapi, eksplorasi temanya terasa dangkal; lebih fokus pada aksi daripada komentar sosial mendalam. Dan menurutku film lebih cocok sebagai hiburan ringan daripada drama yang menggugah pikiran.

Kelemahan utamanya adalah plot yang terlalu linier dan karakter pendukung yang kurang fleshed out, yang membuat beberapa bagian terasa repetitif. Meski begitu, bagi penggemar genre action, Afterburn tetap menyenangkan dengan pace yang cepat dan twist akhir yang memuaskan.

Kalau boleh jujur sih film ini berhasil menghibur melalui aksi spektakulernya, tapi gagal mencapai potensi penuh karena cerita yang generik. But, aku rekomendasikan untuk ditonton di bioskop besar agar kamu bisa menikmati efek suara dan visualnya.

Oh iya di Indonesia sendiri, film ini tayang perdana pada 12 September 2025 di berbagai jaringan bioskop seperti CGV, Cinepolis, dan XXI. Sejak penayangan di tanggal tersebut, film ini telah menarik penonton dengan tiket yang terjangkau mulai Rp35.000-Rp100.000 tergantung daerah dan lokasimu ya, Sobat Yoursay.

Ya semoga ulasan ini bisa memberi gambaran lengkap buat kamu yang pengin nonton film ini. Jika kamu penggemar Dave Bautista atau film seperti Guardians of the Galaxy meets Fallout, Afterburn bisa masuk radar tontonanmu selanjutnya. Rating pribadi dariku: 7/10—cukup menyenangkan tapi tidak revolusioner.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak