Di tengah ramainya industri perfilman Indonesia yang kian beragam. Rangga dan Cinta muncul sebagai penyegar yang membangkitkan kenangan masa lalu. Film yang dijuluki The Rebirth of Ada Apa dengan Cinta? (AADC), adalah adaptasi musikal dari kisah klasik tahun 2002 karya Garin Nugroho.
Disutradarai oleh maestro Riri Riza dengan skenario ulang dari Mira Lesmana dan Titien Wattimena, produksi Miles Films ini menjanjikan perpaduan sempurna antara elemen klasik dan sentuhan kontemporer.
Bagi generasi Z dan milenial, film ini bukan sekadar sekuel, melainkan ruang untuk merayakan cinta dalam segala bentuknya dari romansa pertama hingga ikatan persahabatan yang rapuh.
Film Rangga & Cinta resmi tayang perdana di seluruh bioskop Indonesia mulai 2 Oktober 2025. Kamu bisa menontonnya di jaringan CGV, XXI, Cinepolis, dan bioskop lainnya.
Dengan durasi 119 menit membuatnya pas untuk sesi akhir pekan, terutama bagi yang rindu vibe SMA era 2000-an. Oh iya, FYI film ini telah diputar perdana di Busan International Film Festival 2025, menuai sambutan hangat dari penonton internasional.
Sinopsis cerita berlatar Jakarta tahun 2001, mengisahkan kehidupan remaja di bangku SMA yang penuh gejolak emosi. Cinta (Leya Princy), siswi populer yang menjadi duta literasi sekolah, bersama sahabat-sahabatnya: Alya (Jasmine Nadya), Milly (Katyana Mawira), Maura (Kyandra Sembel), dan Karmen (Daniella Tumiwa).
Mereka adalah ikon gaya dan keceriaan di sekolah, tapi segalanya berubah saat kompetisi puisi diadakan. Cinta, yang yakin akan menang, malah dikalahkan oleh puisi misterius dari Rangga (El Putra Sarira), cowok pendiam dan asing yang lebih suka menyendiri.
Dari rasa penasaran, hubungan mereka berkembang menjadi pertemanan yang intim, penuh diskusi buku dan nongkrong di kafe. Akan tetapi, dunia remaja tak pernah sederhana: cinta baru ini menguji ikatan persahabatan Cinta, memaksa ia memilih antara hati dan loyalitas.
Tanpa spoiler, film ini mengeksplorasi dilema klasik AADC sebuah cinta pertama yang manis getir, diwarnai elemen musikal yang membuat setiap konflik terasa seperti lagu pop era 2000-an.
Review Film Rangga & Cinta

Performa akting Leya Princy sebagai Cinta tampil cemerlang, membawa energi bubbly yang autentik tanpa terasa dipaksakan. Ia berhasil menangkap esensi gadis SMA yang percaya diri tapi rapuh, terutama dalam adegan musikal di mana ia menyanyikan "Bimbang" karya Melly Goeslaw dengan versi baru yang segar dan emosional.
El Putra Sarira, yang dikenal dari peran-peran indie sebelumnya, memerankan Rangga dengan kedalaman yang menawan. Karakternya yang dingin tapi penuh lapisan emosi menciptakan chemistry alami dengan Leya, meski tak seikonik pasangan asli Dian Sastrowardoyo-Nicholas Saputra.
Ensemble cast pendukung juga patut aku diacungi jempol: Jasmine Nadya sebagai Alya yang sarkastis, Rafly Altama sebagai Mamet yang kocak, dan Rafi Sudirman sebagai Borne yang setia, semuanya menambah dinamika geng remaja yang relatable. Bahkan, ada kejutan cameo dari aktor AADC orisinal, yang membuatku bernostalgia.
Riri Riza membuktikan keahliannya dalam menggabungkan nostalgia dan inovasi. Visual film direkam dengan apik oleh Pablo Bross, mereplikasi estetika era 2000-an: kursi perpustakaan kayu usang, billboard bioskop Grand di Pasar Senen, hingga pakaian seragam SMA yang sederhana tapi ikonik.
Setiap frame terasa hangat, seperti album foto lama yang hidup kembali. Yang paling menonjol adalah elemen musikalnya, dengan komposisi Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang diintegrasikan mulus ke narasi.
Lagu-lagu seperti Pupus dan Pesan Terakhir tak hanya soundtrack, tapi sebagai alat bercerita mengungkap perasaan karakter melalui tarian spontan dan vokal live.
Transisi musikal ini, meski kadang terasa kaku seperti ledakan dansa yang mendadak, justru menambah pesona Gen Z yang playful.
Jujur aja sih Rangga & Cinta menurutku melampaui sekadar romcom remaja biasa. Ia merayakan cinta multifaset: romansa yang ragu-ragu, persahabatan yang diuji, hingga cinta diri di tengah tekanan sosial.
Di era media sosial saat ini, pesan tentang menemukan jati diri tanpa filter terasa relevan, meski latar 2001 membuatnya bebas dari distraksi digital.
Film ini juga sensitif terhadap isu gender dan persahabatan perempuan, menunjukkan bagaimana laki-laki seperti Rangga bisa menjadi sekutu tanpa mendominasi narasi.
Tentu, tak ada film yang sempurna. Beberapa transisi musikal terasa dipaksakan, mengganggu alur untukku yang tak biasa dengan genre ini. Meskipun chemistry utama juga belum mencapai level legendaris AADC, tetapi momen puncaknya kurang nendang.
Akan tetapi, kekurangan ini tertutupi oleh kekuatan cerita secara keseluruhan mulai nostalgia yang tak murahan, musik yang menghanyutkan, dan pesan universal tentang tumbuh dewasa.
Overall, Rangga & Cinta layak kuberikan rating 9/10. Karena ini bukan sekadar remake, tapi evolusi yang menghormati warisan AADC sambil berbicara ke generasi baru.
Buat fans berat AADC, ini adalah pesta reuni emosional; untuk yang baru nonton, ini pelajaran manis tentang cinta pertama. Segera tonton di bioskop kesayanganmu ya dan jangan lewatkan kesempatan bernyanyi bareng di layar lebar. Film ini membuktikan, di balik misteri puisi, ada cerita cinta yang abadi.