Film horor kerap menggunakan jumpscare klise atau plot twist yang terasa dipaksakan, akan tetapi Good Boy (2025) menghadirkan pendekatan yang sangat orisinal dan penuh keberanian.
Disutradarai oleh Ben Leonberg dalam debut fitur panjangnya yang mengesankan, film ini bercerita sepenuhnya dari perspektif seekor anjing bernama Indy, seorang Nova Scotia Duck Tolling Retriever yang lucu sekaligus heroik.
Dengan durasi singkat hanya 73 menit, Good Boy sukses memadukan unsur horor supranatural dengan nuansa emosional yang kuat, menjadikannya salah satu karya horor independen paling inovatif di tahun ini.
Buat penonton Indonesia, kabar baiknya film ini akan tayang serentak di seluruh bioskop mulai hari ini 8 Oktober 2025, tepat setelah menjadi film kejutan di Jakarta World Cinema 2025.
Direncanakan tayang hanya lima hari setelah perilisan di Amerika Serikat, ini merupakan peluang istimewa untuk menikmati karya horor berkualitas tinggi yang masih segar dari proses produksi.
Cerita dimulai dengan sederhana namun mencekam. Todd (Shane Jensen), seorang pria yang tampak lelah dan sakit-sakitan, memutuskan untuk pindah dari kehidupan kota yang ramai ke rumah tua milik kakeknya di pinggiran hutan New Jersey yang sunyi.
Rumah itu, yang ditinggalkan sejak lama, bisa dikatakan berhantu sebuah warisan dari kakek Todd (Larry Fessenden) yang secara misterius meninggal.
Bersama Todd, ada Indy, sahabat setianya yang selalu siap melindungi. Dari awal, aku tahu ada yang salah: Todd batuk-batuk aneh, dan rumah itu penuh bayangan gelap. Tapi yang membuat Good Boy unik adalah cara Leonberg menceritakannya.
Hampir seluruh film difilmkan dari level mata Indy dari rendah, dekat dengan lantai, di mana setiap sudut ruangan terasa mengancam, dan suara-suara halus seperti derit pintu atau hembusan angin menjadi senjata utama horor.
Aku tidak mendengar dialog panjang; sebaliknya, narasi dibangun melalui gerak tubuh Indy, gonggongannya yang putus asa, dan pandangannya yang waspada terhadap "sesuatu" yang tak terlihat oleh Todd.
Plotnya mengalir seperti mimpi buruk seekor anjing: Indy melihat siluet manusia berbentuk aneh yang muncul dari sudut gelap, hantu anjing mati yang memberi peringatan samar, dan bahkan sosok lumpur hitam yang mengintai dari basement.
Todd, yang sibuk menonton kaset VHS kakeknya tentang takidermi (pengawet mayat hewan) dan film horor murahan, tak menyadari bahaya yang mengintai. Saat kondisi Todd memburuk antara penyakit fisik dan pengaruh supranatural Indy pub harus bertindak.
Film ini mengeksplorasi ketidakberdayaan hewan peliharaan: bagaimana Indy berusaha berkomunikasi melalui cakarnya yang mencakar lantai atau rengekan yang diabaikan, sementara kekuatan gelap rumah itu berusaha menyeret Todd ke alam baka.
Endingnya intens, dengan balapan menegangkan di hutan malam hari, di mana loyalitas Indy diuji hingga batasnya. Ini bukan horor gore yang berdarah-darah, melainkan yang membangun ketegangan melalui ambiguitas: Apakah hantu-hantu itu nyata, atau hanya halusinasi Indy yang stres?
Leonberg, yang juga menulis skenario bersama Alex Cannon, pintar memadukan elemen psikologis ini, jadi membuatku terus bertanya-tanya.
Review Film Good Boy

Secara akting, Good Boy bergantung pada performa non-verbal yang luar biasa. Shane Jensen sebagai Todd membawa nuansa rapuh dan kesepian yang halus, dengan ekspresi wajahnya yang sering tersembunyi dalam bayang-bayang untuk memperkuat POV Indy.
Arielle Friedman sebagai Vera, saudari Todd, muncul singkat tapi efektif, menambahkan lapisan keluarga yang rusak. Tapi bintang sebenarnya adalah Indy seekor anjing sungguhan yang dilatih selama tiga tahun untuk syuting lebih dari 400 hari.
Gerakannya alami, matanya ekspresif, dan chemistry-nya dengan Jensen terasa autentik, seperti ikatan manusia-hewan yang jarang ditangkap sebaik ini di layar lebar.
Larry Fessenden, veteran horor indie, memberikan cameo yang menyeramkan sebagai kakek, menghubungkan masa lalu rumah dengan horor saat ini.
Overall, para pemain dalam jumlah terbatas ini tampil dengan apik di dalam setting satu rumah yang sempit, difilmkan oleh tim kecil untuk mempertahankan suasana intim dan penuh ketegangan.
Teknikal, film ini adalah keajaiban indie. Sinematografi Wade Grebnoel menggunakan sudut rendah dan long tracking shots yang membuat setiap lorong terasa seperti labirin mimpi buruk bayangkan The Shining tapi dari perspektif anak anjing.
Editing Curtis Roberts yang lincah memadukan klip VHS dan mimpi Indy, menciptakan lapisan realitas yang kabur. Sound design-nya brilian: suara detak jantung Indy, hembusan angin hutan, dan screech halus yang hanya terdengar oleh anjing, semuanya membangun ketegangan tanpa bergantung pada musik dramatis berlebihan.
Leonberg menghindari gimmick murahan; meski POV anjing bisa jadi lelucon, ia mengubahnya menjadi metafor kuat tentang ketidakberdayaan dan cinta tanpa syarat. Ini adalah tribut untuk loyalitas hewan peliharaan, di mana horor terbesar bukan hantu, tapi kehilangan sahabat manusia.
Tentu saja, tak ada film yang sempurna. Menurutku Good Boy terlalu repetitif untuk bumps in the night-nya yang sama dan diputar berulang kali dan jujur sih ini membuatku bosan setelah menit ke-40, dan durasinya yang pendek justru terasa seperti short film yang dipanjangkan.
Elemen supranaturalnya juga tak terlalu orisinal; hantu di rumah tua sudah klise, meski dieksekusi dengan cerdas dari segi imajinasi tapi masih kehilangan momentum dari sisi film horornya sendiri. Poin positifnya terletak pada inovasinya akan tetapi menurutku plot yang dibangun kurang begitu mendalam.
Meski begitu, kekurangan ini tak mengurangi esensi horornya secara keseluruhan kok. Good Boy adalah pengingat bahwa horor terbaik lahir dari empati, bukan ketakutan semata.
Buat kamu pencinta anjing, ini akan menghancurkan hati tapi buat kamu yang suka genre horor ini adalah angin segar di tengah banjir film remake.
Dengan tayang mulai hari ini, 8 Oktober 2025 di bioskop Indonesia seperti Cinema 21 dan CGV, jadi jangan sampai kamu lewatkan ya.
Kusarankan bawa tisu, karena endingnya akan membuatmu ingin memeluk anjing atau hewan peliharaanmu di rumah. Rating pribadi dari aku: 8/10. Dan sangat aku rekomendasikan untuk tontonan malam hari penuh horor di bioskop kesayanganmu!