"Semua orang menjalani takdir yang berlainan. Bagaimanapun keadaannya, paling tidak kita tetap memegang kebenaran." Itulah salah satu kutipan favorit saya dalam novel As Long as the Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh.
Sebuah novel dengan latar belakang sejarah perang Suriah tepatnya di kota Homs yang dikemas dalam sebuah cerita fiksi yang sangat menyentuh.
Bercerita tentang seorang perempuan bernama Salama yang hidup dalam bayang-bayang perang yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawanya.
Anggota keluarganya telah lebih dahulu dijemput oleh takdir ketika terjadi kerusuhan demo masyarakat dan militer yang menyebabkan kerusuhan yang sangat hebat.
Ibu, ayah dan kakak laki-lakinya telah lama hilang dan Salama tidak pernah tahu apakah mereka masih hidup atau telah meninggal.
Ia sempat mendengar kabar tentang kakak laki-lakinya yang bernama Hamza, bahwa dia masih hidup, namun berada di bawah kekuasaan militer.
Alih-alih menyesali atas semua yang telah terjadi, Salama berusaha tegar dan ikhlas bahwa mereka memang mustahil akan kembali lagi.
Namun justru kepergian mereka menjadi trauma terbesar bagi Salama. Hidupnya dipenuhi dengan halusinasi yang setiap hari menghantui kehidupannya di Homs.
Situasi dan kondisi yang memaksa dirinya menjadi seorang tenaga medis di salah satu rumah sakit walaupun dirinya masih berstatus sebagai mahasiswa farmasi.
Setiap hari ia diperlihatkan dengan berbagai bentuk kengerian yang dialami oleh para pasien yang merupakan korban dari serangan militer yang terus menerus menghancurkan mimpi-mimpi para penduduk suriah.
Namun, ditengah-tengah retaknya itu, tumbuh sebuah bunga harapan yang membuat ia ingin terus hidup, lagi dan lagi. Kenan, seorang lelaki yang memiliki luka yang sama dengan Salama, datang di waktu yang awalnya dirasa kurang tepat oleh Salama.
Salama yang telah lama mendambakan kehidupan yang lebih layak dan telah berencana pergi dari Suriah, harus tertahan oleh Kenan, lelaki yang membuat Salama merasakan perasaan yang tidak biasa.
Kenan awalnya memiliki prinsip bahwa Suriah adalah tanah kelahirannya, tempat ayah dan ibunya dimakamkan. Sehingga tidak ada sedikitpun niat bahwa ia harus pergi meninggalkan Suriah.
Hingga akhirnya prinsip itu perlahan memudar seiring dengan rasa cintanya pada Salama yang semakin besar. Mereka berusaha mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan aman dari belenggu dan cengkraman militer yang terus menghantui nya setiap hari.
Walaupun novel ini merupakan cerita fiksi, tetapi sedikitnya mampu memupuk rasa empati da keingintahuan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada Suriah kala itu.
Tentang orang-orang yang hidup dalam bayang-bayang bom, tentang bayi-bayi dan anak-anak yang tidak berdosa harus kehilangan nyawanya begitu saja. Tentang kekejaman dan kediktatoran para penguasa yang membuat penduduknya sengsara.
Tentang pohon lemon yang menjadi simbol kehidupan yang harus terus berlanjut meskipun perang telah merusak segalanya. Pohon lemon di Kota Homs masih tumbuh meskipun dalam kondisi yang tidak memungkinkan sama sekali.
Menjadi simbol bagi rakyat suriah yang tetap berakar di tanah mereka walaupun dikepung oleh kekerasan. Seperti cerita Salama dalam novel ini yang harus memilih antara harus meninggalkan Suriah untuk keselamatannya ataukah tetap tinggal untuk membantu para penduduk di rumah sakit sebagai bentuk pengabdiannya pada Suriah.
Pohon lemon dalam cerita ini juga memiliki makna bahwa meskipun tubuhnya mungkin harus pergi, tetapi hati dan ingatannya akan selalu tertanam di Suriah, selama pohon lemon masih hidup dalam dirinya.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS