Tidak semua pernikahan dimulai dari cinta. Ada yang berangkat dari perjanjian, ada juga yang berawal dari rasa tanggung jawab, lalu perlahan berubah jadi sesuatu yang lebih hangat. Begitu pula kisah Rere dan Petra dalam Dealing with Mr. Lawyer karya Ria Pohan—dua orang dengan kepala keras, yang terpaksa berbagi atap tanpa tahu bagaimana caranya saling mencintai.
Petra, seorang pengacara yang terbiasa berpikir dengan kepala, dipertemukan dengan Rere yang hidup sepenuhnya dengan hati. Ia rapi, perfeksionis, dan kaku; sementara Rere spontan, cerewet, tapi tulus. Dua kepribadian ini seperti air dan api. Tidak ada yang benar-benar cocok, tapi keduanya harus belajar menyesuaikan langkah.
Yang menarik, Ria Pohan tidak membuat kisah ini terasa seperti drama romantis yang penuh adegan manis. Ia justru menyoroti sisi nyata dari hubungan dua orang dewasa yang sedang belajar hidup bersama. Di antara pertengkaran dan diam, cinta itu perlahan tumbuh—bukan dengan gemuruh, tapi dengan kehangatan yang sederhana.
Cinta yang tumbuh dari kebersamaan
Rere dan Petra menikah bukan karena cinta, melainkan karena keadaan. Tapi justru di sanalah letak daya tariknya. Hubungan mereka dibangun bukan di atas janji-janji indah, melainkan pada rutinitas sehari-hari: makan bersama, bertengkar, lalu berdamai lagi.
Cinta mereka seperti tanaman yang tumbuh di tanah keras—pelan, tapi kuat. Pembaca bisa melihat bahwa rasa sayang tidak selalu datang cepat, kadang ia muncul dari kebersamaan yang berulang, dari usaha saling memahami meski hari terasa berat.
Antara logika dan perasaan
Sebagai pengacara, Petra terbiasa memandang segala sesuatu dari sisi logika. Ia ingin semuanya masuk akal, bisa dijelaskan, bisa diprediksi. Tapi rumah tangga tak berjalan dengan rumus hukum. Rere sering membuatnya kewalahan dengan perasaan dan spontanitasnya yang sulit ditebak.
Pertengkaran mereka sering kali lucu tapi menyentuh, karena di balik perbedaan itu ada rasa ingin dimengerti. Ria Pohan membuat benturan logika dan perasaan ini terasa hidup—seperti percakapan nyata dua orang yang sama-sama keras kepala tapi saling butuh.
Cinta dalam hal-hal kecil
Kekuatan novel ini justru terletak pada hal-hal kecil yang sering luput dari kisah cinta lain. Tidak ada pengakuan besar atau adegan dramatis, tapi ada perhatian yang tulus di sela rutinitas. Cara Petra diam-diam memperhatikan Rere, atau cara Rere tetap membuatkan kopi meski hatinya kesal—semuanya membuat pembaca merasakan cinta yang nyata.
Ria Pohan menulisnya dengan lembut, tanpa harus menjelaskan panjang lebar. Ia biarkan pembaca menyadari sendiri bahwa cinta tidak selalu perlu kata, cukup dengan tindakan yang jujur.
Keteguhan seorang perempuan
Tokoh Rere adalah potret perempuan yang kuat dengan cara yang tenang. Ia tidak pernah meledak-ledak, tapi juga tidak mau ditindas. Keteguhannya tampak dari cara ia menghadapi Petra—ia memilih untuk bertahan, tapi tetap menjaga harga diri.
Rere menunjukkan bahwa perempuan bisa lembut tanpa kehilangan ketegasan. Ia bukan karakter yang sempurna, tapi nyata: bisa marah, kecewa, bahkan lelah, namun tetap punya cara sendiri untuk berdamai dengan keadaan. Nilai ini terasa dekat dengan banyak pembaca perempuan, karena mencerminkan realitas yang sering kita jumpai.
Tentang rumah dan rasa pulang
Hubungan Rere dengan ayahnya menjadi bagian kecil tapi penting dalam cerita ini. Dari situ, pembaca tahu bahwa kekuatan Rere tidak datang begitu saja—ia lahir dari kasih dan rasa aman yang dibangun sejak kecil.
Bagian ini membuat buku novel tidak hanya bercerita tentang cinta pasangan, tapi juga tentang keluarga. Tentang bagaimana seseorang bisa belajar mencintai orang lain setelah lebih dulu mengenal arti pulang. Ada ketenangan yang menyusup diam-diam, membuat kisah ini tidak hanya romantis, tapi juga hangat.
Hangat, lucu, dan dekat dengan kenyataan
Gaya menulis Ria Pohan terasa ringan dan mengalir. Konfliknya tidak dibuat terlalu rumit, tapi tetap bisa menggugah emosi. Di satu sisi pembaca bisa tertawa karena dialog mereka yang lucu, di sisi lain bisa ikut terdiam karena maknanya dalam.
Yang membuat cerita ini menarik adalah kedekatannya dengan kehidupan nyata. Banyak pasangan yang mungkin akan melihat diri mereka di dalam Rere dan Petra—tidak sempurna, sering salah paham, tapi tetap memilih bertahan.
Seatap memang tidak selalu sependapat. Tapi mungkin, justru di situlah cinta yang sebenarnya tumbuh—bukan di antara kesamaan, melainkan di antara dua hati yang mau saling menyesuaikan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS