Ulasan Novel Rumah di Seribu Ombak: Nggak Cuma Kesetiaan, Tapi Ketimpangan

Hikmawan Firdaus | Tika Maya Sari
Ulasan Novel Rumah di Seribu Ombak: Nggak Cuma Kesetiaan, Tapi Ketimpangan
Novel Rumah di Seribu Ombak (Goodreads)

Ada yang pernah liburan ke Bali? Atau ada yang tinggal di Bali? Bali terkenal sebagai surga dunia karena menawarkan keindahan alam dan budaya yang memukau.

Pulau Dewata, begitulah julukannya. Sebuah pulau cantik yang ramai dikunjungi Wangsa Sabrang alias bule-bule mancanegara, hingga digandrungi oleh Janma Nuswantara, alias wisatawan domestik.

Bali, rupanya nggak hanya dikisahkan pada papan-papan promosi saja, melainkan berhasil diadaptasi ke dalam suatu novel berjudul Rumah di Seribu Ombak. Novel yang ‘membuka mata’ mengenai segelintir situasi Bali, yang menyihirku lewat diksi-diksinya. Terharu, tertawa, atau keduanya?

Identitas Buku

Judul: Rumah di Seribu Ombak

Penulis: Erwin Arnada

Tebal: 387 halaman

Tahun Terbit: 2012

Penerbit: Gagas Media, Jakarta

Sekilas Tentang Buku

Rumah di Seribu Ombak adalah suatu novel terbitan Gagas Media, pada tahun 2012. Novel karya Erwin Arnada yang memiliki ketebalan 387 halaman ini menyajikan sampul buku yang menawan, tentang derai-derai ombak lautan. Dengan font judul sederhana, tetapi menyajikan misteri sebagaimana membisunya lautan.

Sekali lihat, kupikir ini adalah novel romansa didukung dengan kalimat-kalimat cantik nan penuh kasih sayang di sampul belakangnya. Namun boleh dikata, Rumah di Seribu Ombak menyajikan dinamisme yang kompleks, tetapi menyampaikan amanat yang kuat, dari tanah Bali, yang berjuluk Pulau Dewata.

Sinopsis Buku

Rumah di Seribu Ombak mengisahkan persahabatan antara Samihi Ismail dan Wayan Manik alias Yanik di Kaliasem, Singaraja, Bali. Mereka berdua begitu dekat dan kompak, meskipun memiliki perbedaan keyakinan. Samihi adalah bocah Muslim asal Jawa, sedangkan Yanik adalah akamsi beragama Hindu.

Perkenalan mereka juga dikisahkan cakep. Ketika Samihi dibully oleh anak-anak desa, Yanik menolongnya. Sebab, anak-anak desa takut pada Yanik yang berbadan besar. Namun, novel ini nggak hanya menyoroti kekompakan kedua bocah ini saja. Melainkan trauma yang dialami masing-masing.

Sebagaimana Samihi yang dikisahkan takut bermain air, hingga takut menjelajahi alam bebas, seperti kebanyakan anak-anak desa. Ketakutannya bukan tanpa alasan. Selain karena larangan keras dari orang tuanya, kedua kakak laki-lakinya diceritakan meninggal saat berenang di danau maupun sungai. Disusul oleh kematian ibunya akibat sedih. Oleh sebab itulah, Samihi diasuh dengan gaya strict parent oleh ayahnya.

Sedangkan Yanik lebih parah lagi. Dia mengalami putus sekolah dan bekerja sebagai guide lumba-lumba di pantai Lovina demi menyambung hidup. Ibunya pun sakit-sakitan, sedangkan ayahnya menjadi korban dari bom Bali. Yanik juga sempat dekat dengan salah satu turis bernama Andrew yang tinggal cukup lama di Bali. Sebelum mengetahui bahwa Andrew adalah predator anak, dan Yanik telah menjadi korbannya.

Kebersamaan dua bocah yang tenang ini pun kandas saat Samihi melaporkan kejadian ini pada ketua adat Singaraja. Andrew segera ditahan oleh kepolisian dan menghadapi proses hukum, sedangkan Yanik yang terlalu malu plus sedikit membenci Samihi pun kabur, melalang buana.

Dalam jarak yang jauh inilah, kita akan disajikan development masing-masing karakter dengan cakep. Samihi yang menguatkan dirinya untuk belajar berenang hingga menjelajahi alam bebas, dan adik perempuannya yang merawat ibu Yanik sepeninggal putranya.

Rumah di Seribu Ombak juga menyajikan ending yang kontradiksi. Dengan keterangan membahagiakan, hingga permainan gradasi diksi yang melahirkan air mata kesedihan.

Penilaian Pribadi

1. Menyajikan Unsur Toleransi yang Kuat

Buatku sendiri, Rumah di Seribu Ombak adalah masterpiece karena berhasil mengemas tema toleransi beragama, yang ditunjang dengan persahabatan yang kuat. Novel ini juga menyajikan keharmonisan antar umat beragama di Singaraja, Bali, yang dihuni oleh mayoritas Hindu dan minoritas Muslim. Walau begitu, Erwin Arnada juga mampu menceritakan lanskap keindahan Singaraja, Bali ke dalam diksi-diksi detail yang mampu membawa pembaca traveling.

2. Mengulas Gemerlap dan Sisi Gelap Pariwisata Bali

Rumah di Seribu Ombak juga menyoroti gemerlap pariwisata di pulau Dewata tersebut. Nggak hanya menawarkan keindahan pesona alam dan budayanya saja, melainkan pada dinamisme penduduk lokal dan pelancong yang kadang nggak mulus-mulus amat.

Mungkin, ada pelancong yang niatnya memang untuk berlibur saja. Namun, ada juga beberapa pelancong yang berniat negatif, sebagaimana diwakili oleh karakter Andrew dan apa yang dia lakukan.

Lewat novel ini pula, kita akan diajak merasai kehidupan penduduk lokal Bali yang nggak selalu bahagia. Selalu ada kisah-kisah sedih penuh perjuangan seperti keteguhan Yanik dalam hidupnya, dan Samihi dengan segala resiko dan keberaniannya.

3. Ada Eksekusi Plot yang Membosankan, Tapi Ending Bikin Kepikiran

Sebagai pembaca, harus kuakui Rumah di Seribu Ombak sangat menawan dari awal hingga tengah buku. Plotnya dibuat menarik, dengan timeline yang sesuai dan berhasil menggiring emosi kuat. Sayangnya, dari tengah novel hingga menjelang akhir, diksi-diksinya terasa hampa dan datar banget.

Penyampaiannya terkesan membosankan, seperti asal-asalan saja. Bahkan boleh dibilang mirip membaca esai daripada novel. Padahal, Erwin Arnada tampaknya menjanjikan plot bagus karena mengusung genre toleransi dan persahabatan, dengan latar lokasi Singaraja, Bali. Kupikir, apakah penulis kira-kira mengalami writer’s block? 

Meski begitu, syukurlah ending yang dihadirkan begitu memukau penuh haru dan bahagia berpadu. Pada akhirnya, kehidupan manusia selalu nggak bisa diprediksi. Bagaikan Samihi yang tadinya takut air, dia pun berhasil menjadi peselancar internasional yang sering berkompetisi di berbagai negara. Bagaikan Yanik juga yang memilih ‘menyatukan diri’ bersama lautan, setelah ibunya meninggal dunia akibat sakit yang tak kunjung reda.

Segala macam emosi menjadi satu, dan pelajaran hidup untuk nggak asal menjustifikasi orang lain, pun meremehkan orang lain. Sebab, selalu ada hukum sebab akibat yang bertingkah membatasi manusia untuk begini dan begitu.

Seperti peribahasa Jawa, wong iku uripe sawang sinawang. Bahwa sejatinya manusia hidup saling memandang. Ada kalanya kita berpikir hidup orang lain mudah, sedangkan ada yang berpikir hidup kita indah. Pada akhirnya, demikianlah manusia.

Secara keseluruhan, aku memberikan skor 8 dari 10 untuk Rumah di Seribu Ombak. So, kamu berminat baca?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak