Review Film 22 Menit, Ketika Jakarta Menjadi Medan Perang Sesungguhnya

Hikmawan Firdaus | Sandy Hermawan
Review Film 22 Menit, Ketika Jakarta Menjadi Medan Perang Sesungguhnya
Poster film 22 Menit (Vidio)

Film 22 Menit garapan sutradara Eugene Panji dan Myrna Paramita, bukanlah sekadar reka ulang dramatis dari peristiwa pengeboman Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari 2016. Lebih dari itu, film ini menyajikan sebuah gambaran bagaimana kota metropolitan yang hiruk pikuk bisa mendadak berubah menjadi medan perang sesungguhnya, di mana keberanian dan ketakutan beradu dalam hitungan menit yang menentukan. 

Salah satu aspek yang paling menarik dari 22 Menit adalah pilihan struktur naratifnya. Mengadopsi teknik penceritaan seperti film thriller Hollywood, film ini menyajikan peristiwa ledakan dari berbagai sudut pandang karakter yang berbeda: AKBP Ardi (Ario Bayu), polisi unit antiterorisme; Firman (Ade Firman Hakim), polisi lalu lintas; hingga warga sipil seperti office boy Anas (Ence Bagus) dan karyawati Dessy (Ardina Rasti). 

Pendekatan ini berhasil membangun ketegangan sekaligus memberikan dimensi kemanusiaan yang kaya pada tragedi tersebut. Penonton diajak kembali ke detik-detik sebelum dan sesudah ledakan, melihat bagaimana kengerian itu dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat Jakarta, bukan hanya dari sisi heroik aparat. 

Meskipun masih terasa ada beberapa logika cerita yang kurang pas (seperti penonjolan wajah Ardi tanpa helm di tengah baku tembak), film ini patut diacungi jempol untuk upaya menampilkan aksi yang sigap dan realistis. Narasi 22 menit waktu yang diklaim dibutuhkan Polri untuk melumpuhkan teroris menjadi poros yang membuat tempo film terasa cepat dan mendebarkan.  

Secara teknis, efek visual CGI untuk adegan ledakan terbilang meyakinkan untuk ukuran film Indonesia, membuat suasana di Simpang Sarinah benar-benar terasa mencekam. Pengambilan gambar juga mampu menangkap kekacauan dan kecepatan respons aparat dengan cukup baik. 22 Menit berhasil memvisualisasikan bagaimana prosedur baku penanganan terorisme dijalankan di tengah keramaian sipil. 

Sayangnya, di balik intensitas aksi, pengembangan karakter terasa kurang maksimal. Film ini memperkenalkan banyak karakter dengan potensi kisah yang menarik, namun mayoritas dari mereka hanya berakhir sebagai pemanis atau figur yang numpang lewat di tengah kekacauan. Film ini memperkenalkan banyak karakter dengan potensi kisah yang menarik, namun mayoritas dari mereka hanya berakhir sebagai pemanis atau figur yang numpang lewat di tengah kekacauan. Contohnya adalah AKBP Ardi yang digambarkan sebagai seorang sayang keluarga di awal film, tetapi interaksi emosionalnya dengan istri dan anaknya disajikan sangat minim, gagal membangun ikatan emosional yang kuat dengan penonton. 

Demikian pula dengan Firman, polisi lalu lintas yang menghadapi kegalauan pribadi terkait rencana pernikahannya, subplot ini terasa terabaikan dan hanya menjadi distraksi sesaat sebelum insiden utama terjadi. Akibatnya, ketika tragedi menimpa, dampak emosionalnya tidak terasa mendalam karena kita belum sempat benar-benar peduli pada nasib mereka. Satu-satunya subplot yang cukup berhasil menyentuh adalah kisah Anas dan kakaknya yang secara efektif menggambarkan kerasnya hidup di kota Jakarta yang berupa perjuangan ekonomi. Film ini terlalu fokus pada kecepatan pelumpuhan oleh aparat dalam 22 menit, hingga mengorbankan waktu untuk membangun fondasi empati kemanusiaan dari para tokohnya. 

Pada akhirnya, film 22 Menit bukan sekadar sajian sinema aksi, melainkan sebuah tontonan yang penting dan relevan sebagai penanda sejarah kelam dan pengingat bahwa tragedi nyata pernah menyentuh jantung ibukota. Film ini sukses luar biasa dalam menggambarkan bagaimana Jakarta dapat seketika berubah menjadi medan perang yang sesungguhnya, di mana rutinitas damai pagi hari dapat luluh lantak dalam hitungan detik. Di tengah kekacauan tersebut, film ini dengan tegas menyoroti keberanian dan kesigapan aparat kepolisian yang mempertaruhkan nyawa, menjadikan film ini sebagai tribute yang layak bagi mereka yang bertugas dan juga para korban sipil. Meskipun adanya kekurangan pada kedalaman drama karakter, film 22 Menit berhasil menjadi film aksi bertema terorisme yang segar di kancah perfilman nasional. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak