Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Christof
Ilustrasi gambar di dinding (Pexels/Kamaji Ogino).

Coretan di dinding membuat resah, resah hati pencoret mungkin ingin tampil. Tapi lebih resah pembaca coretannya. Sebab coretan dinding adalah pemberontakan kucing hitam, yang terpojok di tiap tempat sampah, di tiap kota….”

Itulah sepenggal lirik lagu ciptaan musisi kondang nusantara Iwan Fals yang sengaja ingin menyorot sebuah fenomena grafiti jalanan atau aksi corat coret tembok di sudut-sudut kota saat ini. Memang benar, tulisan dan coretan bernada provokatif yang sering masuk dalam kategori vandalisme dinding ini sering mendatangkan sekaligus datang dari sebuah keresahan.

Tulisan seperti ‘Killz Capitalis’, ‘Lawan Oligarki’, ‘Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Mati Saja’, ‘Hutan Dibakar, KPK Dipadam’, ‘Sibuk Menanam Beton Hingga Lupa Menanam Pohon’, dan sederet sentilan tajam lainnya seolah ingin mengajak hati pengguna jalan untuk menoleh, membaca, sekaligus meresapinya.

Aksi corat-coret di tembok yang kadang dilakukan secara kucing-kucingan dengan aparat ini merupakan sebuah wahana dan ekspresi seseorang atau kelompok orang dengan segudang maksud dan tujuan.

Kebanyakan yang terjadi, grafiti jalanan menjadi media alternatif untuk menyalurkan dan menyampaikan aspirasi, protes, kritik, opini, atau gagasan terpendam mengenai gejolak dan keresahan sosial yang terjadi di sebuah daerah, wilayah, maupun negara.

Goresan kata dan kalimat di atas dinding yang kadang dibarengi dengan sentuhan seni ini merupakan luapan kekesalan, kemarahan, kekecewaan, kegalauan, kerisauan, dan kekalutan batin dan perasaan terhadap situasi yang terjadi.

Di mana, situasi itu merupakan kondisi yang jauh dari harapan dan keinginan masyarakat tertentu dan harus diperbaiki sesegera mungkin. Mereka seolah sedang mengadili sebuah ketimpangan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, kesewenang wenangan, dan kerancuan serta anomali sosial yang sedang mengemuka.

Para pembuat grafiti ini seolah menjadi seorang orator aksi unjuk rasa dan demonstrasi melalui barisan kalimat penuh makna di sepetak dinding. Bak seorang rapper yang komat kamit berceloteh menyindir lewat sebait lirik di atas mikrofon, aksi grafiti juga sedang berusaha mempertanyakan realitas sosial yang terjadi.

Yang artinya, semprotan pilox dan cat tembok ini menjadi salah bentuk media bahkan corong komunikasi visual yang acapkali datang dari pemberontakan dan perlawanan keras terhadap arus kuat yang sedang dianut.

Muntahan isi hati bernada nyinyir dan sedikit mengejek seolah sedang memarahi dan menentang keras sebuah sistem atau tatanan sosial yang memiliki cacat, kebocoran, dan distorsi di sana sini. Barisan kalimat itu seolah telah mewakili uneg-uneg sebagian orang sekaligus perwujudan sumpah serapah yang tertata rapi di kanvas berupa tembok.

Seperti halnya pelaku bom bunuh diri, aksi grafiti jalanan ini seolah sedang menciptakan teror mental dan psikis tersendiri bagi pihak yang menjadi sasaran tulisan tersebut, yang kebanyakan adalah pembuat kebijakan, yakni pemerintah serta tokoh atau sekelompok orang berpengaruh. Tak jarang pula, aksi ini merupakan sebuah simbol rasa frustasi yang lebih baik disalurkan melalui mencoret daripada melakukan pengerusakan atau aksi anarkis dan kerusuhan secara fisik.

Para pembuat grafiti jalanan ini memang sengaja menorehkan kalimat kalimat cadas itu di tempat tempat yang mencolok dan strategis, dengan memanfaatkan sisa ruang yang ada di sejumlah ruas jalan. Sudah pasti tujuannya agar tulisan mereka lebih terlihat, dan pesan yang disampaikan mudah serta cepat diterima.

Bagi sebagian pihak, karya grafiti ini memang terlihat mengotori dan merusak keindahan kota maupun jalanan yang menjadi sarana lalu lalang orang. Selain juga ini akan mengganggu dan merugikan pemilik rumah, toko, atau dinding itu sendiri. Namun tak jarang, grafiti yang disajikan dengan sentuhan seni dan estetika serta disiapkan dengan matang malah makin memperindah tata ruang yang ada.

Yah betapapun semarak aksi corat mencoret dinding ini, semua kembali kepada masyarakat untuk memaknai kandungan dan isi grafiti jalanan ini. Bisa jadi kita akan tersenyum setuju, mengernyitkan dahi karena tidak mengerti, menunduk tersindir, atau bahkan membantahnya mentah-mentah.

Apapun itu aksi grafiti jalanan sedikit banyak telah mewarnai pergerakan sosial kita dan menyemarakkan hiruk pikuk kehidupan kota yang sudah ada.

Christof