Sebutan ‘Pahlawan Kemerdekaan’ identik dengan seseorang yang secara fisik angkat senjata melawan musuh. Eits, tapi tunggu dulu, zaman sekarang istilah pahlawan kemerdekaan tidak harus menggambarkan orang tersebut harus berperang secara fisik.
Di era globalisasi dan industri 4.0 makna ‘kemerdekaan’ lebih luas dibanding zaman dulu. Berkembangnya teknologi dan informasi membuat penjajahan samar-samar masuk ke dalam sendi-sendi bangsa.
Ada dua macam penjajahan, yakni penjajahan bangsa asing dan penjajahan bangsa sendiri. Contoh dari penjajahan bangsa asing yaitu masifnya produk-produk luar negeri di Indonesia dan pudarnya budaya bangsa akibat desakan budaya luar negeri. Sedangkan, contoh penjajahan bangsa sendiri yaitu maraknya korupsi di tingkat pejabat pemerintahan, acuhnya kebijakan pemerintah terhadap rakyat kecil, dan lain sebagainya.
Tentunya, sebagai negara yang berlandaskan pancasila berjalanya roda pemerintahan haruslah berperikemanusiaan, adil, serta mengedepankan kemakmuran rakyat. Namun, realitas yang terjadi justru Indonesia dihadapkan dengan berbagai polemik kinerja penegak hukum. Terkait korupsi, misalnya. Deretan kasus korupsi dengan hukuman yang tidak sesuai dengan undang-undang banyak dipertanyakan oleh masyarakat.
Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) mencatat kurang lebih sebanyak 20 koruptor mendapatkan keringanan hukuman sepanjang tahun 2019-2020 (sumber: BBC News). Di antaranya yakni pengacara OC Kaligis, Djoko Tjandra, mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Andi Mallarangeng, dan lain sebagainya.
Bahkan baru-baru ini berita keringanan koruptor yang disebut “Diskon Hukuman Besar-besaran” memanas akibat adanya keringanan dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara yang diberikan kepada Jaksa Pinangki, pelaku pencucian uang sebanyak 7 milyar. Kemudian disusul adanya keringanan kepada Juliari Batubara, koruptor bantuan sosial Covid-19 yang semula dihukum mati menjadi 11 tahun penjara.
Inilah makna luas dari kemerdekaan era sekarang, yang bukan lagi soal penjajahan fisik rakyat bekerja romusha atau rodi, namun penjajahan bangsa sendiri. Rakyat harus merdeka dari belenggu pejabat kotor yang lihai memanipulasi dana, keadaan, maupun politik. Para aktivis yang selalu menyuarakan keadilan perlu diapresiasi sebagai bentuk pahlawan kekinian di era saat ini.
Perjuangan aktivis tidak selalu diwujudkan dalam aksi turun ke jalan dalam bentuk yang negatif, namun beberapa dari mereka yang mewujudkannya melalui platform-platform digital, seperti tulisan atau artikel mengenai tinjauan kebijakan pemerintah, menjadi narasumber beberapa talkshow televisi, bahkan menjadi pribadi yang jujur dan bersih dalam kehidupan sehari-hari pun termasuk wujud dari aktivis perubahan.
Pahlawan kemerdekaan bukan lagi soal siapa yang mengangkat senjata, namun siapa yang mau bertindak kritis dan jujur membela bangsa. Di umur yang ke 76 tahun, sudah saatnya kita juga berperan menjadi pahlawan kekinian untuk negara. Kalo bukan kita, lantas siapa lagi? Kalo tidak sekarang, lantas kapan lagi?
Baca Juga
Kolom
-
Anak Muda dan Traveling: Melarikan Diri atau Mencari Jati Diri?
-
Menggali Tradisi Sosial dengan Dinamika Tak Terduga Melalui Arisan
-
Fenomena Lampu Kuning: Ritual Keberanian atau Kebodohan?
-
Melawan Sunyi, Membangun Diri: Inklusivitas Tuna Rungu dan Wicara ADECO DIY
-
Ujian Nasional dan Tantangan Integritas Pendidikan Indonesia
Terkini
-
3 Film Sydney Sweeney yang Tak Boleh Kamu Lewatkan, Terbaru Ada Eden!
-
Sinopsis Drama Korea The Tale of Lady Ok, Dibintangi Lim Ji Yeon dan Choo Young Woo
-
Review Film Hotel Pula, Ketika Trauma Perang Memengaruhi Kehidupan Seseorang
-
3 Red Peeling Serum yang Bikin Wajah Mulus dan Cerah, Harga Rp50 Ribuan
-
Tak Hanya 'Doubt', Ini 4 Drama Korea Chae Won-bin yang Sayang untuk Dilewatkan