Selaku Founder Alibaba Group, Jack Ma menuangkan gagasannya perihal pendidikan. Ia menilai, pada masa depan manusia akan bersaing dengan mesin. Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan banyak pekerjaan yang semula dilakukan manusia, nantinya akan diganti oleh teknologi.
Tak heran jika Jack Ma mengkritisi pendidikan zaman sekarang di mana banyak lembaga hanya fokus mencetak lulusan yang siap kerja. Padahal menurut Jack Ma, pendidikan mestinya tidak lagi berlomba-lomba membentuk manusia pekerja, melainkan manusia berkarakter.
Sayangnya, kenyataan ini kian mengakar kuat. Di Indonesia sendiri, kurikulum sekolah berpatokan pada nilai raport. Globalisasi telah menggeser tujuan pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Diakui atau tidak, kini, pendidikan di Indonesia lebih berfokus mencetak lulusan yang menguasai scientia yang bersifat pragmatis dan materialis. Akibatnya, bangsa Indonesia tengah dihadapkan dengan gumpalan es yang menggunung bernama krisis karakter.
Sebutlah kasus Guru Budi yang wafat akibat dianiaya muridnya pada tahun 2018 lalu. Peristiwa yang terjadi di Sampang ini mengundang riuh publik. Tidak sedikit yang mencaci-maki kala guru seni rupa itu meninggal di tangan muridnya sendiri. Sialnya, kemerosotan moral tidak melulu dilakukan anak didik. Pemangku pendidikan juga tak luput dari krisis moral yang menciderai institusi pendidikan. Semisal yang terjadi dengan kasus Herry Wirawan, lelaki bejat yang tega memperkosa 13 santrinya sendiri.
Hal ini mengisyaratkan bahwasannya dunia pendidikan di Indonesia mengalami kemerosotan moral. Penyebabnya, pendidikan di negeri ini tidak membekali anak didik dengan semangat kebangsaan, sifat kemanusiaan, atau moral luhur sebagai warga negara. Padahal hasil penelitian Harvard University menunjukkan, kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill), melainkan keterampilan mengolah diri dan berinteraksi dengan orang lain (soft skill).
Penelitian ini diamini oleh Jack Ma. Ia yang pernah tidak lulus ujian dua kali saat Sekolah Dasar, tiga kali gagal masuk tes SMP, dan ditolak masuk universitas, berpendapat bahwa seorang murid akan sukses jika pendidikan tidak lagi fokus terhadap pencapaian konten kurikulum dan akuntabilitas, melainkan kepada kemampuan soft skill. Menurut Jack Ma, mesin mungkin bisa mengalahkan otak, tapi dia tidak bisa menggantikan hati manusia.
Oleh karenanya, Jack Ma berpendapat bahwasannya pendidikan mestinya bertumpu pada 3 hal, yaitu:
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
3. Kecerdasan untuk Mencintai (LQ)
Salah satu cara untuk menerapkannya, yaitu tidak menitikberatkan anak-anak pada pelajaran kurikulum. Melainkan terhadap pelajaran olahraga, musik dan seni sehingga nantinya anak-anak memiliki sikap empati dan peduli pada sesama. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh mesin kepada manusia.
Baca Juga
-
4 Zodiak yang Gampang Baper dan Cepat Menangis, Siapa Saja Mereka?
-
Kamu Susah Move On dari Mantan? Bisa Jadi Ini Alasannya
-
Benarkah Kesehatan Mental Bisa Terganggu Akibat Candu Media Sosial?
-
Cara Mengatasi Deadlock saat Menulis, Simak Tips Berikut Ini!
-
5 Tips agar Cerpenmu Dimuat di Koran dan Media Online
Artikel Terkait
Kolom
-
Antara Keluarga dan Masa Depan, Dilema Tak Berujung Sandwich Generation
-
Judicial Review: Strategi Politik Menghindari Tanggung Jawab Legislasi
-
Banjir Bukan Takdir: Mengapa Kita Terjebak dalam Tradisi Musiman Bencana?
-
Pasal 16 RKUHAP: Bahaya Operasi Undercover Buy Merambah Semua Tindak Pidana
-
Saat Emosi Mengendalikan Ingatan: Mengenal Fenomena Mood-Congruent Memory
Terkini
-
Buy or Bye: 6 Aksesoris iPad yang Wajib Dipertimbangkan sebelum Checkout
-
Bukan soal Pajak! Purbaya Tegaskan Thrifting Tetap Ilegal di Indonesia
-
Cliquers, Bersiap! Ungu Guncang Yogyakarta Lewat Konser 'Waktu yang Dinanti'
-
Vidi Aldiano Menang Gugatan Nuansa Bening, Tuntutan Rp28,4 Miliar Gugur!
-
Bukan Cuma Kekeringan, Banjir Ekstrem Ternyata Sama Mematikannya untuk Padi