Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Thomas Utomo
Kegiatan latihan tali-temali di salah satu SD. (Dok Pribadi/ Thomasutomo)

Pramuka—akronim dari praja muda karana—adalah organisasi kepanduan yang paling dikenal di Indonesia.

Sekadar trivia, organisasi kepanduan yang ada di Indonesia antara lain Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (GKHW)—organisasi otonom Muhammadiyah, didirikan 20 Desember 1918, lebih ‘tua’ dari Pramuka yang didirikan pada 20 Mei 1961.

Tetapi Pramuka jauh lebih populer karena organisasi pendidikan nonformal ini menjadi ekstrakurikuler sedari jenjang SD (Siaga dan Penggalang), SMP (Penggalang), SMA (Penegak), hingga di Perguruan Tinggi (Pandega).

Pramuka memiliki peran yang signifikan dalam mendukung pelaksanaan pendidikan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.

Secara gamblang, pendidikan karakter dalam Pramuka tertera dalam Dasa Darma, sebagai berikut: (1) Takwa kepada Tuhan yang Maha Esa, (2) Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia, (3) Patriot yang sopan dan ksatria, (4) Patuh dan suka bermusyawarah, (5) Rela menolong dan tabah, (6) Rajin, terampil, dan gembira, (7) Hemat, cermat, dan bersahaja, (8) Disiplin, berani dan setia, (9) Bertanggung jawab dan dapat dipercaya, (10) Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Ada banyak argumentasi yang menguatkan betapa Pramuka memiliki selaksa manfaat bagi perkembangan positif bagi mental generasi muda.

Di antaranya, pertama, kita telah mafhum Pramuka adalah kegiatan yang menyenangkan. Menyanyi, bermain, tepuk tangan, membaca sandi, dan menjelajah alam adalah sebagian kegiatan Pramuka out door yang membebaskan generasi muda dari ‘belenggu’ kegiatan belajar in door.

Di tempat terbuka, melalui kegiatan yang menggembirakan, generasi muda dapat terasah minat, bakat, dan potensinya secara lebih baik.

Kedua, kegiatan Pramuka lebih bertumpu kepada pengembangan otak kanan. Telah kita ketahui bahwa kegiatan pembelajaran di dalam kelas, lebih mengasah pengembangan otak kiri (IQ atau intelectual quotient), sedangkan pengembangan otak kanan (EQ atau emotional quotient) kerapkali mendapatkan porsi yang sedikit. Pramuka adalah wahana pengembangan emosional otak kanan.

Melalui serangkaian kegiatan yang ada, generasi muda dilatih untuk berinteraksi, berkomunikasi, berkreasi, dan berafiliasi dengan teman-temannya.

Di sinilah kemampuan sosial siswa dibangun, sehingga mampu mewujudkan salah satu pilar pendidikan versi UNESCO World Heritage Centre, yakni membekali generasi muda untuk bisa life together, hidup bersama secara damai dan harmonis.

Ketiga, Pramuka menempa mental generasi muda agar kokoh lagi kuat. Dalam kegiatan Pramuka, generasi muda dibekali dengan sikap mental tangguh seperti disiplin, berani, bertanggung jawab, dan relijius.

Keempat, menanamkan karakter gemar bergotong royong, umpamanya dalam mendirikan tenda, memasak, dan mencuci piring ketika kemah.

Kelima, menumbuhkan simpati dan empati terhadap lingkungan, baik hayati maupun nonhayati.

Ini tercermin dalam kegiatan bakti sosial, kerja bakti, ikut mengatur lalu lintas ketika hari raya, dan sebagainya.

Keenam, mengajarkan generasi muda untuk lebih mencintai alam. Sesungguhnya, alam adalah sahabat sejati manusia—dari situ dia berasal, tumbuh-berkembang, hingga kemudian dikuburkan setelah menemui ajal.

Melalui kegiatan Pramuka yang lebih banyak dilakukan di alam terbuka, generasi muda kembali diingatkan untuk mengakrabi sahabat paling setia.

Ketujuh, melatih bekerja sama. Secara kodrati, manusia adalah makhluk sosial yang selalu terhubung dengan sesama manusia—dalam hal apapun, tanpa terkecuali.

Dalam Pramuka, intensitas kebersamaan dan kegiatan bekerja sama dikondisikan secara lebih kental dan pekat, misalnya antaranggota barung atau regu.

Dengan demikian, generasi muda akan lebih dapat menghargai dan menemukan benefit positif dari penyelesaian masalah yang dituntaskan secara bersama-sama.

Kedelapan, melatih komunikasi. Komunikasi mutlak dibutuhkan dalam menjalin hubungan.

Dalam menghadapi masalah dan memecahkannya secara bersama, yang ada di rangkaian kegiatan Pramuka, generasi muda dilatih untuk berkomunikasi—verbal maupun nonverbal—secara efektif dan efisien demi kepentingan bersama.

Kesembilan, mengasah kreativitas. Dalam rangkaian kegiatan Pramuka, selalu ada ‘persoalan’ yang disodorkan guna dipecahkan, umpamanya ketika mendirikan tenda dan membuat tali-temali.

Dalam konteks ini, generasi muda dipecut untuk menyelesaikan masalah secara kreatif, sesuai ilmu-ilmu kepramukaan yang telah dipelajari, disesuaikan situasi juga kondisi real.

Kesepuluh, membekali keterampilan untuk bertahan hidup. Semakin dewasa, semakin kita sadar betapa hidup tidak pernah mulus lagi mudah. Selalu ada gronjalan kendala.

Melalui latihan P3K, memahami sandi, tali-temali, memasak menggunakan peralatan seadanya ketika kemah, dan sejenisnya, generasi muda diberi keterampilan untuk tangguh dan sigap menyikapi keterbatasan. 

Demikian sepuluh manfaat berkecimpung dalam kegiatan Pramuka bagi generasi muda.

Tentu masih ada manfaat lain yang luput dijabarkan dalam artikel ini. Namun, setidak-tidaknya, sepuluh benefit sebagaimana tersebut dapat memacu—mungkin pula menambah tebal keyakinan—bahwa kegiatan Pramuka selagi diselenggarakan dan diikuti secara optimal, akan mendatangkan keuntungan tak ternilai.

(Dirangkum dan disunting dari berbagai sumber)

Thomas Utomo