Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Kegiatan Wawancara Siswa (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Pada Selasa, 4 Oktober 2022, kelas kami kedatangan siswa baru, pindahan dari Bogor. Sebagai guru, saya memandang kedatangan siswa baru itu sebagai pintu kesempatan untuk belajar muatan pelajaran Bahasa Indonesia.

Dalam muatan pelajaran Bahasa Indonesia, ada materi wawancara atau kegiatan bertanya-jawab antara penanya dengan narasumber. Maka saya punya gagasan, menjadikan siswa baru tersebut sebagai narasumber. Sedangkan para siswa lain beralih peran menjadi penanya. Topiknya, apa lagi kalau bukan seputar identitas siswa baru itu dan kegiatan kesehariannya sebelum pindah ke Purbalingga?

Ya, betul. Momen ini sebetulnya adalah momen perkenalan siswa baru. Tapi daripada siswa baru itu bermonolog menyebutkan identitas diri di muka kelas, saya kira akan lebih bermanfaat dan berdampak apabila momen tersebut diubah menjadi ajang pembelajaran wawancara, walau mungkin sederhana saja.

Maka, setelah kegiatan pembuka seperti berdoa bersama dan apersepsi, siswa baru berjenis kelamin perempuan itu, saya minta maju ke muka kelas, berdampingan dengan saya. Kami duduk bersebelahan, menghadap 21 siswa lain.

Saya mengubah peran menjadi moderator. Saya paparkan mekanisme wawancara dan prosedurnya. Saya jelaskan tugas penanya, narasumber, dan moderator.

Lalu dimulaikan proses tanya-jawab. Tidak semudah yang saya bayangkan, karena dari pihak penanya maupun narasumber sama-sama kelihatan canggung, sebab satu sama lain belum kenal.

Untuk menetralisir kecanggungan, sayalah yang mula-mula mengajukan pertanyaan-pertanyaan diselipi guyonan, agar suasana cair dan ketegangan pudar. 

Saya sampaikan kepada siswa kalau ada reward bagi siapa pun yang mau bertanya. Mendengar ini, dua-tiga anak mulai mengangkat tangan. Pertanyaan yang diajukan sederhana saja. Namun saya mengapresiasinya dengan antusias.

Siswa lain terpacu untuk ikut berkomentar. Mendapat umpan balik dari saya mengenai kualitas pertanyaan, membuat mereka makin terpacu. Makin lama, pertanyaan yang diajukan semakin berbobot.

Kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih empat puluh lima menit ini diakhiri secara menyenangkan. Secara umum, para siswa, tidak lagi segan bertanya. Suasana kelas pun kurang tegang alias lebih kendor. Tidak jarang, siswa tertawa dalam menanggapi siswa lain atau saya.

Dari kegiatan ini, saya harap, siswa semakin sadar, bahwa kegiatan wawancara atau tanya-jawab ternyata tidak harus dibuat sukar. Cukup dimulai dengan pertanyaan sederhana.

Melalui kegiatan pembelajaran ini, siswa belajar untuk berani mengungkapkan pendapat atau pertanyaan, mengasah percaya diri, melatih unjuk diri di depan khalayak, dan lebih memahami materi muatan pelajaran Bahasa Indonesia. Semoga. Aaamiin.

Thomas Utomo