Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Thomas Utomo
Siswa sedang mengerjakan soal ulangan (Dokumentasi pribadi/ Thomas Utomo)

Bagi siapapun yang pernah bersekolah negeri di Indonesia, mungkin pernah mengalami kejadian ini: ikut ulangan, nilainya jelek. Namun, ketika rapor hasil belajar dibagikan, nilai jelek itu telah lenyap, berganti nilai lain yang cukup bagus atau malah sangat bagus. 

Dari mana datangnya nilai itu? Tentu saja dari guru! Maksud saya, jika siswa tidak pernah mengikuti kegiatan remedial, bagaimana bisa yang bersangkutan memperoleh nilai perbaikan?

Inilah yang jadi bahasan kita. Sekaligus inilah yang menjadi rahasia guru. Namun sebelum pembahasan lebih lanjut, perlu disampaikan bahwa ini adalah topik sensitif. Disampaikan bukan untuk mendiskreditkan profesi dan marwah guru sebab saya selaku penganggit tulisan ini juga bertugas sebagai guru. 

Maksud pembuatan tulisan ini, berangkat dari niat baik, adalah upaya buka mata buka telinga, saling koreksi demi perbaikan serta kebaikan bersama. Sebab pendidikan sebagai elemen penting adalah tanggung jawab bersama. Pendidikan berasal dari kita dan untuk kita sendiri.

Atas dasar pertimbangan tersebut, tulisan ini dibuat.

Kembali soal nilai rapor, ada tahapan secara runtut mengenai bagaimana cara pemerolehannya? Dimulai dari kegiatan pembelajaran di kelas, dilanjut uji kompetensi berupa ulangan tertulis maupun unjuk kerja. Apabila hasil berupa nilai belum mencapai standar batas minimal (yang dinamakan kriteria ketuntasan minimal [KKM]), maka dilakukan kegiatan remedial atau perbaikan.

Kegiatan remedial ini pun tidak serta merta dilaksanakan ulangan tertulis atau unjuk kerja, melainkan harus ada pendalaman materi pembelajaran lagi guna memastikan siswa menyerapnya dengan baik. Barulah kemudian dilakukan ulangan tertulis atau unjuk kerja.

Namun, dengan dalih kesibukan, banyak guru tidak melakukan remedial, langsung mengambil jalan pintas dengan cara katrol nilai. Nilai-nilai jelek langsung dikerek hingga naik jadi bagus. 

Jadi itulah jawaban bagi pertanyaan yang dijadikan judul tulisan.

Tak jarang pula, guru terlewat tidak mengadakan ulangan tertulis atau unjuk kerja. Lagi-lagi dengan alasan: sibuk. Maka terjadilah keajaiban yang lebih ajaib dari soal katrol nilai, yakni sulap nilai. Nilai yang sebelumnya tidak ada mendadak ada. 

Ini yang kemudian secara guyon disebut; ketika masa menjelang penggarapan rapor, guru suka sekali ngaji. Singkatan dari ngarang biji atau merekayasa nilai. 

Thomas Utomo