Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | thiara chairun nisa
Ilustrasi pemilu. (Suara.com/Ema Rohimah)

Pencoblosan kali ini rasanya lebih panas dari sebelumnya. Selain masing-masing kandidat yang membawa visi misi yang kuat, diperpanas juga oleh rakyat yang semakin kritis politik. Terlebih media sosial yang marak berkampanye, memaksakan pendapat hingga membuat perdebatan di kalangan warganet.

Belum lagi kalangan publik figur yang secara terang-terangan menyatakan dukungannya untuk paslon dan partai tertentu. Yang saya heran, di manakah prinsip kerahasiaan dalam pemilu yang sejak kecil diajarkan di sekolah dulu?

Pendukung A membeberkan sisi gelap B dan C, begitupun sebaliknya. Cara gak sehat ini membuat kita gak menghargai pendapat dan persepsi orang lain. Padahal, yang jadi masalah bukan kesalahan paslonnya, melainkan masyarakat egois yang terus-menerus berbicara tanpa mau mendengar.

Di balik hiruk-pikuk masyarakat yang ikut berkampanye dengan berbagai cara, ada masyarakat lain yang hak suaranya sukarela dibeli oleh oknum tertentu. Sebutlah Sari, nama yang saya samarkan adalah teman saya sendiri.

Selasa, (13/02/2023) kemarin, kita saling berbalas pesan WhatsApp membahas tentang pemilu yang tinggal hitungan jam. Di tengah-tengah obrolan, beliau juga mengirim pesan berbunyi, "Aku udah dapet sogokan tiga puluh ribu buat nyoblos besok."

Saya yang cukup terkejut bertanya-tanya kebenaran tersebut. Tapi gak sampai di sana, Sari juga menyebut kalau ibunya sendiri yang tinggal di kampung mendapat sogokan serupa sebesar Rp50.000 untuk memilih anggota partai tertentu. Ini apa cuma saya aja yang gak tau soal suap-menyuap gini, ya?

Ngomong-ngomong, saya dan Sari sudah sangat lama berteman. Jadi, saya hafal betul kalau sejumlah uang yang tidak seberapa itu nyatanya sangat berharga buat beliau. Saya gak menyalahi tentang Sari yang mau-maunya direnggut hak pilihnya cuma untuk uang Rp30.000; melainkan saya muak dengan oknum gak tau diri yang semena-mena demi ingin menang.

Yang bikin saya kaget lagi, ibu saya sendiri menyebut kalau kejadian begini sudah lumrah terjadi sejak dulu. Artinya, berapa banyak uang yang mereka keluarkan demi menjabat? Kalau selama berkompetisi aja kelakuannya sudah begini, gimana kalau sampai menjabat?

Saya bukannya terlalu drama mempermasalahkan soal Rp30.000 itu. Tapi rasanya satu-dua suara murni seperti tiada artinya jika disatukan dengan suara hasil sogokan. Pemilu seakan formalitas saja, siapa yang menang sudah ditentukan. Tugas rakyat hanya mengikuti skenarionya sampai pemungutan suara selesai, begitu?

Saya gak tahu-menahu apakah kejadian gini hanya terjadi di tingkat kabupaten aja? Atau juga menjalar sampai ke tingkat pemilihan presiden? Yang jelas, siapapun pemimpinnya, semoga itu adalah pilihan terbaik untuk merawat Indonesia 5 tahun ke depan. Pemimpin yang dampak baiknya gak hanya dirasakan oleh deretan kursi-kursi politik aja, tetapi juga kita sebagai rakyatnya. Sehat-sehat, Indonesia.

thiara chairun nisa