Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Ilustrasi karyawan sedang bekerja (pexels/ Yury Kim)

Dalam dunia yang semakin kompetitif, ambisi sering kali menjadi bahan bakar utama bagi individu untuk mencapai kesuksesan. Namun, apakah ambisi selalu membawa dampak positif?. Penelitian Kurniawan dkk (2024) pada Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada yang berjudul "Examining the Role of Ambition in Psychological Well-being: A Study on Indonesian Employees" mencoba menjawab pertanyaan ini melalui kajian ilmiah yang menarik.

Penelitian ini berangkat dari premis bahwa ambisi dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ambisi mendorong seseorang untuk mencapai tujuan, berkembang, dan terus maju dalam kariernya. Namun, di sisi lain, ambisi yang berlebihan dapat menimbulkan tekanan psikologis, kecemasan, dan bahkan ketidakpuasan dalam hidup. Studi ini meneliti bagaimana ambisi berhubungan dengan kesejahteraan psikologis di kalangan pekerja Indonesia.

Dengan melibatkan ratusan karyawan dari berbagai sektor industri, penelitian ini mengukur tingkat ambisi individu serta dampaknya terhadap kebahagiaan, stres, dan kesejahteraan mental secara keseluruhan. Hasilnya cukup menarik, ambisi ternyata memiliki hubungan yang kompleks dengan kesejahteraan psikologis. Individu yang memiliki ambisi tinggi cenderung memiliki tingkat pencapaian yang lebih besar dan lebih puas dengan karier mereka. Namun, jika tidak diimbangi dengan keseimbangan hidup yang baik, ambisi ini justru bisa menjadi sumber stres yang menggerogoti kebahagiaan mereka.

Temuan ini membawa kita pada sebuah refleksi penting. Dalam budaya kerja yang serba cepat dan penuh tekanan seperti saat ini, banyak orang merasa bahwa mereka harus terus berlari, mengejar target demi target, tanpa memberikan ruang bagi diri sendiri untuk beristirahat atau menikmati kehidupan. Ambisi, yang seharusnya menjadi pendorong positif, sering kali berubah menjadi beban yang tak berkesudahan.

Yang menarik dari studi ini adalah pendekatan multidimensinya terhadap ambisi. Tidak semua ambisi buruk, dan tidak semua ambisi baik. Ada perbedaan antara ambisi sehat yang didorong oleh keinginan untuk berkembang dan mencapai potensi maksimal dengan ambisi yang merusak, yang lahir dari kebutuhan untuk membuktikan diri atau mendapatkan validasi eksternal. Mereka yang memiliki ambisi sehat cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi, sementara mereka yang terdorong oleh tekanan sosial atau ketakutan gagal sering kali mengalami stres dan kecemasan yang lebih besar.

Dalam konteks Indonesia, di mana budaya kerja keras sering kali dianggap sebagai kebanggaan, penelitian ini memberikan wawasan yang sangat relevan. Banyak karyawan merasa terjebak dalam siklus kerja yang melelahkan tanpa benar-benar mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan mental mereka. Keseimbangan antara ambisi dan kebahagiaan menjadi sesuatu yang semakin penting untuk diperhatikan.

Artikel ini juga menyoroti pentingnya dukungan sosial dan lingkungan kerja yang sehat dalam membantu individu mengelola ambisi mereka. Karyawan yang bekerja dalam lingkungan yang suportif, dengan pemimpin yang memahami pentingnya keseimbangan hidup, cenderung lebih mampu mengelola ambisi mereka dengan cara yang sehat. Sebaliknya, lingkungan yang kompetitif tanpa batasan justru dapat memperburuk dampak negatif dari ambisi yang tidak terkendali.

Sebagai kesimpulan, penelitian ini mengingatkan kita bahwa ambisi bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi juga bukan sesuatu yang harus dibiarkan tanpa kendali. Kunci dari kesejahteraan psikologis terletak pada bagaimana kita menyeimbangkan ambisi dengan aspek lain dalam hidup, termasuk waktu untuk diri sendiri, keluarga, dan kebahagiaan di luar pekerjaan. Jika ambisi dapat dikelola dengan bijak, maka ia bisa menjadi alat yang luar biasa untuk mencapai kesuksesan tanpa mengorbankan kebahagiaan.

Rion Nofrianda