Kesehatan mental pria sering kali menjadi isu yang terpinggirkan dalam diskusi publik. Di tengah tekanan sosial dan budaya yang menuntut pria untuk selalu kuat dan tangguh, kesehatan mental mereka justru sering terabaikan.
Berbagai isu dan stigma yang mencuat di masyarakat kebanyakan tak jarang membuat pria menutup mata dan enggan menunjukkan kondisi kesehatan mentalnya.
Jebakan "masculinity trap" dan stigma budaya, termasuk anggapan bahwa gangguan mental adalah tanda lemahnya iman, adalah salah satu stigma negatif yang berdampak besar pada kesehatan mental pria.
Padahal, apabila berbicara tentang kesehatan mental banyak faktor yang dapat menyebabkan mental seseorang terganggu baik dari faktor internal maupun eksternal.
Budaya patriarki yang kuat di Indonesia memperkuat ekspektasi bahwa pria harus menjadi pemimpin yang tangguh tanpa kelemahan.
Hal ini diperparah oleh minimnya pendidikan emosional sejak dini, yang membuat banyak pria tidak tahu bagaimana cara mengelola emosi secara sehat. Akibatnya, mereka cenderung memendam masalah hingga mencapai titik kritis.
Konsep maskulinitas yang berkembang saat ini sering kali membuat spekulasi yang tidak realistis terhadap pria. Mereka diajarkan sejak kecil untuk menahan emosi, tidak menangis, dan selalu terlihat kuat.
Fenomena ini dikenal juga dengan istilah toxic masculinity, yaitu gagasan yang membatasi pria dalam mengekspresikan emosi secara sehat.
Toxic masculinity dapat memberikan dampak lebih lanjut terhadap kesehatan mental pria seperti depresi, kecemasan, hingga mengalami hambatan dalam memahami hubungan interpersonal yang sehat. Jebakan ini membuat laki-laki dianggap sebagai manusia superior yang tidak boleh memperlihatkan sisi gelap nya.
Padahal, emosi-emosi yang kerap dihadapi pria merupakan suatu hal yang wajar dan hal itu merupakan sisi gelap yang mesti mereka ketahui dan sadari dalam proses kehidupannya.
Pria juga butuh kehidupan yang bebas dan tidak ada salahnya seorang pria menunjukkan authenticity (keaslian) bahkan vulnerability (kerapuhan) dalam hidupnya.
Dalam lingkup sosial, pria yang mencoba membicarakan perasaannya sering kali dianggap "lemah" atau "tidak jantan." Label-label ini menciptakan penghalang besar bagi mereka untuk mencari bantuan. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keterbukaan emosional.
Jebakan maskulinitas juga tak jarang membuat pria bertindak abusive terhadap orang lain. Tak jarang emosi-emosi yang tak tersalurkan tersebut pria lampiaskan pada tindakan-tindakan lain yang mereka anggap bisa menenangkan rasa emosinya.
Beruntung apabila tindakan tersebut bersifat positif, namun kebanyakan cenderung mengarah ke hal-hal yang bersifat merusak seperti mengalihkan dirinya ke penggunaan rokok, alkohil, hingga obat-obatan berbahaya.
Selain jebakan maskulinitas, dalam banyak masyarakat khususnya di Indonesia, kesehatan mental sering kali dihubungkan dengan spiritualitas atau keimanan seseorang.
Tidak jarang pria yang mengalami gangguan mental dianggap sebagai orang yang "kurang beriman" "jarang beribadah" atau "kurang dekat dengan Tuhan."
Pandangan ini tidak hanya keliru secara medis, tetapi juga memperparah penderitaan mereka yang membutuhkan bantuan profesional.
Studi di Columbia University menyatakan bahwa orang yang menganggap agama dan spiritualitas penting dalam kehidupan memiliki tingkat depresi yang rendah dibandingkan mereka yang tidak menganggap penting agama dan spiritualitas.
Namun studi tersebut juga mengungkap bahwa sering atau tidaknya seseorang beribadah tidak berpengaruh terhadap depresi (Miller dkk, 2012 dalam Machdy, 2019).
Penting untuk memahami bahwa kesehatan mental adalah bagian integral dari kesehatan manusia secara keseluruhan. Gangguan mental seperti halnya depresi atau kecemasan bukanlah tanda lemahnya iman, melainkan kondisi medis yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius.
Sudah saatnya stigma-stigma yang berkembang di masyarakat kebanyakan terhadap kesehatan mental pria mulai diubah. Kesehatan mental bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian penting dari kesejahteraan manusia.
Pria juga berhak mendapatkan ruang untuk berbicara, merasakan, dan meminta bantuan tanpa merasa terhakimi. Pria juga berhak menunjukkan sisi kemanusiaannya sebagai manusia biasa.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Bacaan Bukan Kasta: Berhenti Menghakimi Selera Membaca Orang Lain
-
Ironi Literasi: Ketika Buku Bajakan Laris, Tapi Penulisnya Tak Dihargai
-
Membaca Tak Harus Buku, Saatnya Menggeser Perspektif Literasi yang Kaku
-
Sudah Baca Buku Self-Improvement, Tapi Kenapa Hidup Masih Berantakan?
-
Buku Mahal, Gaji Kecil: Apakah Membaca Hanya untuk yang Punya Uang?
Artikel Terkait
-
Awas! Psikolog Ungkap Bahaya Pernikahan Dini, Ancam Kesehatan Mental Pasutri Muda
-
Ahmad Dhani Dipukul Pria Bertato, Kesal tapi Tak Bisa Marah
-
Gaya On Point! Tas Favorit 4 Aktor yang Bisa Jadi Inspirasi Fashion Pria
-
5 Rekomendasi Deodoran Pria Terbaik: Atasi Bau Badan Tanpa Tinggalkan Noda Kuning di Baju
-
Luka Psikologis yang Tak Terlihat di Balik Senyum Ibu Baru
Kolom
-
Memberi Uang kepada Pengemis: Wujud Kepedulian atau Memelihara Kemalasan?
-
Cultural Tokenism di Dunia Hiburan: Representasi atau Sekadar Simbolik?
-
Bacaan Bukan Kasta: Berhenti Menghakimi Selera Membaca Orang Lain
-
Mission Impossible - The Final Reckoning: Warisan Ethan Hunt Berlanjut?
-
Final Destination - Bloodlines: Kutukan Film atau Kebetulan Mengerikan?
Terkini
-
Review Film Karate Kid - Legends: Pukulan Nostalgia tapi Kurang Greget!
-
3 Tradisi Unik di Masyarakat Indonesia dalam Menyambut Hari Raya Idul Adha
-
Ulasan Novel Greta & Valdin: Tentang Cinta, Luka, dan Kekacauan Identitas
-
Lagu MEOVV 'Hands Up': Ambisi Kuat untuk Tidak Menyerah pada Tantangan
-
Singapore Open 2025: Jadwal Laga Lima Wakil Indonesia di Babak 16 Besar